Bab 06 : Perjalanan Melintasi Sungai

5.8K 484 14
                                    


Kami berempat terperangah mendengar ucapan pemuda itu. Seketika aku menjadi ragu, apakah harus melanjutkan perjalanan ini atau lebih baik pulang ke Jawa. Kupandang wajah istriku, meminta kepastian. Sepertinya ia juga bingung harus berkata apa.

Bang Junai menggeser kursinya ke belakang, berdiri, lantas mendekati pemuda itu. Dengan emosi, bang Junai mencengkeram kerah kaos pemuda tadi.

"Masbro...jangan becanda macam-macam. Aku ini sudah lama tidak berantem." Bang Junai mengancam pemuda tersebut. Mas Tarno memasang wajah sangarnya. Melihat bekas luka di lehernya, pemuda itu menjadi semakin takut.

"I-iya bang...maaf...becanda saya kelewatan." Jawab pemuda tersebut terbata-bata.

" Udah tenang aja, kalau ada apa-apa kalian tinggal telpon aku. Aku akan datang jemput kalian." Mas Tarno berusaha menenangkan aku dan istri.

"Sudah... Sekarang bawa tas dan koper mereka ke kelotok. Selesai sarapan mereka akan ke sana." lanjut bang Junai.

Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah bang Junai. Ia segera memanggil temannya untuk membantu membawakan barang kami ke dalam kelotok.

Setelah pemuda itu berlalu, kami melanjutkan menghabiskan sisa makanan kami. Istriku memain-mainkan gelang rotan di tangan kirinya, yang kemarin ia beli di dekat penginapan. Aku tahu ia ragu, gelisah dan juga takut. Perasaan yang sama juga sedang melanda diriku. Peristiwa nahas yang kami lalui tadi subuh, membuat siapapun akan ketakutan.

"Dik...terserah kamu saja. Atau kita pulang saja hari ini. Kita kembali ke Jawa." kataku perlahan.

Istriku terdiam. Pilihan di hadapan kami saat ini memang sulit. Pulang ke Jawa, artinya melewati kesempatan jadi PNS. Belum lagi denda yang harus dibayarkan karena membatalkan perjanjian secara sepihak. Gunjingan dan cemoohan tetanga juga pasti akan jadi makanan sehari-hari.

" Dik Bimo, saya hanya sumbang saran. Semua ada resikonya. Usul saya, lanjut saja. Tidak semua orang bisa jadi PNS. Jaman sekarang cari kerja semakin Sulit." kata mas Tarno.

" Gak ada kesuksesan tanpa rintangan. Lagian, kejadian tadi subuh belum tentu terulang lagi. Sekarang udah canggih. Kalau ada apa-apa kalian bisa WA atau telpon aku. Gak seperti jamanku dulu, di pedalaman gak ada sinyal. Itupun hanya bisa telpon dan sms. " lanjut mas Tarno.

Aku memalingkan wajah kearah istriku, meminta pendapatnya.

"Bagaimana dik? Lanjut atau pulang ke Jawa ?"

Istriku lalu memandang wajahku dengan tatapan datar.

" Kita lanjut aja mas." ujarnya yakin.
"Lagian, omongan ibu kayaknya lebih seram daripada kejadian tadi subuh."tambahnya sambil tersenyum.

Kami semua bernafas lega mendengar jawaban istriku. Keyakinannya mengembalikan semangatku untuk melanjutkan merantau. Memang, di saat aku ragu dia selalu memnberikan ketenangan.

***

Usai membayar makanan kami, aku lalu menyerahkan sejumlah uang kepada bang Junai. Walau sudah didiskon, ternyata ongkosnya masih saja tetap mahal. Ongkos transportasi yang mahal adalah hal lumrah di Kalimantan, apalagi di daerah pedalaman.

Aku dan istriku kembali mengirim kabar ke orang rumah, menyampaikan bahwa kami baik-baik saja dan sebentar lagi berangkat ke desa tujuan kami. Hampir setengah jam kami ngobrol melalui video call yang kadang putus-putus. Sedangkan bang Junai dan mas Tarno, mereka bilang akan melanjutkan perjalanan ke sebuah perusahaan tambang, mengantarkan muatan pesanan mereka.

Kemudian pemuda kurus tadi kembali menghampiri kami.

"Bang, ayo berangkat. Sudah jam 8 lewat 5. Nanti kesiangan."

Kami mengikuti langkahnya ke arah kelotok, berjalan hati-hati di atas titian yang sebagian lapuk tergerus air. Bang Junai dan mas Tarno mengiringi langkah kami di belakang.

"Kita berpisah di sini. Ingat, kalau ada apa-apa hubungi aku. Di tanah perantauan kita harus saling bantu." kata mas Tarno mengingatkan.

" Jangan lupa selalu hati-hati." lanjutnya.

"Iya mas, akan kuhubungi kalau ada apa-apa."

Aku dan istri lalu masuk ke dalam kelotok, kami duduk agak di tengah. Sedangkan tas kami dan tas beberapa penumpang lainnya di taroh di atas atap. Selain kami, ada 6 penumpang lainnya yang menuju arah yang sama dengan kami. Tumpukan sembako terlihat di bagian depan, yang dihalangi papan melintang sebagai pembatas dengan penumpang.

Sejenak kemudian, kelotok mulai bergerak ke arah hulu sungai Barito. Ibu kota kecamatan yang tadi cukup ramai, terlihat semakin mengecil dari kejauhan.

***

Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah di tepi sungai Barito. Hutan rindang yang hijau dengan berbagai hewan liarnya, seperti pemandangan yang biasa terlihat pada film dokumenter. Monyet-monyet l bergelantungan di dahan-dahan pohon, saling berebut buah hutan yang tumbuh liar. Di bawah pepohonan, tepatnya di bagian pantai sungai, biawak maupun ular nampak sedang menikmati mangsanya. Sedangkan di badan sungai, burung-burung kecil saling berlomba untuk menukik tajam ke air, lalu terbang lagi ke udara dengan ikan di cengkraman kakinya.

Tidak hanya aku, istriku juga terpesona dengan panorama alam di hadapan kami saat ini. Pemandangan ini tidak akan kami temukan di tanah Jawa. Sejenak, kami lupa bahwa subuh tadi kami hampir kehilangan nyawa.

Kelotok lalu menyeberang ke sisi kanan sungai Barito yang luas, kemudian bergerak lagi kearah hulu. Setelah melewati sebuah perkampungan, kelotok berbelok ke arah kanan masuk ke dalam anak sungai.

Dibandingkan sungai Barito, anak sungai ini jauh lebih sempit. Lebarnya tidak lebih dari 30 meter, dan semakin menyempit ke arah hulu. Kadang kelotok harus bergerak pelan untuk menghindari batu-batu besar yang muncul di tengah sungai. Kadang pula, motoris harus meliuk-liukan gerak kelotok guna menghindari jeram. Untung saja, motoris kelotok sudah berpengalaman. Kalau tidak, bisa saja kelotok kami menabrak batu yang tajam atau terbalik diseret arus jeram.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam kelotok, selain duduk, ngobrol dan sesekali tidur dengan posisi yang dipaksakan. Satu-persatu, penumpang turun di desa tujuannya. Kini, hanya tersisa tiga orang penumpang, aku dan istriku, dan seorang lelaki paruh baya.

Setelah perjalanan selama kurang lebih 5 jam, akhirnya kami tiba di desa tujuan kami. Kelotok bergerak merambat, merapat ke arah dermaga yang sepi. Beberapa jukung dan kelotok dengan ukuran lebih kecil bertambat di sana.
Motoris kemudian mematikan mesin, dan perahu bergerak pelan dengan sisa dorongan mesin tadi.

Lelaki muda yang berada di bagian depan kelotok, dengan sigap melompat ke dermaga. Tali tambatan perahu di tangannya ia tarik, agar kelotok semakin rapat. Tali tambatan kemudian diikat pada sela-sela lubang lantai dermaga, dan kelotok kini sudah benar-benar bersandar.

Aku dan istriku kemudian keluar dari kelotok, menginjakan kaki dengan hati-hati di dermaga. Lelaki muda dan motoris kemudian menurunkan barang-barang bawaan kami.

Terlihat aneh, sikap mereka seperti tergesa-gesa hendak segera beralih dari desa ini. Berbeda seperti saat menurunkan penumpang di desa-desa sebelumnya, tidak ada basa basi yang keluar dari mulut mereka.

Sesekali, mereka melirik kearah desa lalu memalingkan wajah. Entah apa yang mereka lihat, tapi tingkah mereka membuatku dan istri merasa tidak nyaman. Aku dan istri juga memalingkan muka, melihat kearah desa. Tapi tidak ada apa-apa di sana, kecuali barisan rumah kayu yang kosong.

Setelah menerima ongkos, kelotok bergegas berlalu dengan kecepatan penuh. Suara mesin meraung-raung di tengah sungai, meninggalkan jejak asap hitam yang mengepul dari knalpotnya.

Jam di telpon genggamku menunjukan pukul 13.33. Aku mencoba menghubungi orang tuaku, tapi sial, tidak ada sinyal. Jangankan sinyal internet, untuk telpon atau sms saja tidak bisa. Aku merenung, memikirkan bagaimana caranya menyampaikan kabar ke kampung halaman.
Raut keraguan kembali terlihat di wajah istriku. Tapi tidak ada pilihan, kami sudah sampai di desa ini.

Selangkah demi selangkah, kaki kami menapaki anak tangga dermaga dengan perasaan was-was. Apapun yang terjadi, kami harus berjumpa Pak Kasno hari ini. Dialah satu-satunya harapan kami.

...bersambung...

Kuyang ( Sudah Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang