Bab 04 : Gangguan di Tengah Perjalanan

6.1K 522 16
                                    

Benturan tadi membuat mobil kami oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan tanah yang berlapis pasir dan kerikil membuat mobil semakin tidak bisa dikendalikan.

Istriku terus menjerit histeris sambil menangis. Aku berusaha menjangkau istriku, namun laju mobil yang liar membuat aku terpaksa berpegangan dengan apa saja yang bisa kugapai.

Bang Junai berusaha mengendalikan laju mobil. Namun sia-sia, mobil kami telah keluar dari badan jalan dan meluncur kearah jurang.

Aku pasrah, ajal kami telah tiba.

....Braaakkkk....

Kembali terdengar suara benturan, tapi kali ini suaranya berasal dari samping kiri. Mobil seketika berhenti, raungan suara mesin menggema di tengah kegelapan.

Kami semua terdiam, bungkam di kursi masing-masing. Tubuhku kembali kaku tidak bisa digerakan, tangganku bergetar tanpa terkendali.

Suara nafas yang memburu terdengar di sampingku. Kuperhatikan, istriku menggigit bibirnya. Air mata mengalir di kiri kanan batang hidungnya.

"Semua keluar..." suara Bang Junai kembali menyadarkan kami. Akupun sudah mulai menguasai keadaan. Tanganku yang masih bergetar meraih gagang pintu mobil yang dingin. Kami semua keluar dari pintu sisi kanan.

Setelah menginjakan kaki di tanah, kubantu istriku keluar dari mobil secara perlahan. Begitu kedua kakinya sudah berada di atas tanah, tubuhnya langsung lemas. Segera kuraih badannya agar tidak jatuh, mas Tarno juga sigap membantu. Kami papah tubuhnya beberapa meter agak menjauh dari mobil, dan mendudukannya dia atas tanah yang ditumbuhi rerumputan.

"Kalian tidak apa-apa?" Bang Junai bertanya sambil menyodorkan satu botol air mineral. Air itu lalu kuminumkan pada istriku yang masih shock.

"Tidak apa-apa bang, hanya sedikit shock." Ujarku dengan nafas tersengal-sengal.

Headlamp terpasang di kepala Bang Junai, cahayanya yang terang menembus pekatnya kabut belantara.
Satu headlamp diserahkan pada Mas Tarno yang sudah berdiri di sampingku, satu buah senter ia serahkan padaku.

"Kalian tenangkan diri saja, kami mau memeriksa mobil dulu." Ucap masTarno, lalu mereka berdua mulai memeriksa keadaan mobil. Mesin mobil dimatikan, hanya lampu depan dan belakang yang terus menyala.

Istriku merangkul erat pinggangku. Ia terus menangis tanpa suara. Sesekali, tubuhnya bergoncang karena sesenggukan. Aku mencoba menangkannya, mengelus-mengelus bagian belakang kepalanya yang tertutup jilbab.

Langit masih gelap, hanya ada cahaya bintang yang bertebaran. Disini, di jalan yang berada di tengah belantara, kami terdampar jauh dari peradaban manusia. Angin bertiup dari arah hutan, menggerakan dedaunan dan juga belukar. Di padang gelap seperti ini, pepohonan bisa terlihat seperti sosok hitam yang mengerikan.

Suara jangkrik bersahutan, diiringi suara burung hantu dan binatang malam lainnya. Bayangan setan kepala dengan bayi di mulutnya tadi, membuat bulu kudukku merinding.

Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang membuatku takut.
Namun, semakin coba dihilangkan justru pikiran itu terasa semakin menjadi-jadi.

Aku menyalakan rokok, mencoba menghilangkan rasa takut, sekaligus menenangkan diri atas kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawa kami.

Udara terasa dingin, namun aku dan istri justru bermandikan keringat. Keringat juga membasahi tubuh mas Tarno dan Bang Junai yang tengah mengotak-atik mobil.

...brum...brum...

Suara mesin mobil kembali menyala, meraung-raung di tengah belantara.

"Bimo...!" Mas Tarno memanggil namaku, melambaikan tangan, memberi kode agar kami segera mendekat.
Aku dan istri lalu berdiri dan melangkahkan kaki ke arah Mas Tarno dan Bang Junai.
"Mobil aman. Hanya penyok sedikit di sebelah kiri. Kamu bantu Tarno mendorong mobil ya, agar bisa kembali ke badan jalan." Pinta Bang Junai.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang