Malam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangunkan para penghuni desa.Aku dan istri telah siap dengan pakaian putih hitam, seperti pakaian mahasiswa calon guru saat PPL di sekolah. Hari ini pak Kasno akan mengenalkan kami pada guru lainnys dan juga murid-murid. Dan kami telah melupakan perihal perilaku aneh tambi Nyai tadi malam. Lebih tepatnya, pura-pura melupakan.
Matahari belum tinggi, dan embun berlapis kabut membasahi dedaunan dan rerumputan.
Kami bertiga menuju sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah dinas kami.
Aku mengedarkan pandang menatap bangunan sekolah ini. Sebagian kelas tampak kosong dan terkunci. Sarang laba-laba dan debu menghiasi tiap sudutnya. Plafon banyak yang terkelupas dan menjuntai di langit-langit. Bekas rembesan hujan bagaikan peta benua yang tersebar dimana-mana. Dindingnya juga banyak yang berlubang termakan usia.Di ruang guru, ternyata sudah ada pak Ancah dan seorang lelaki paruh baya tengah mengobrol. Kopi panas yang masih mengepul tersaji di meja di depan mereka. Masing-masing jari tangan mereka mengapit sebatang rokok, sedangkan piring kaca kecil mereja jadikan asbak. Dan sesekali mereka tertawa.
Melihat kami bertiga datang, mereka lantas berhenti mengobrol.
Pak Kasno kemudian segera memperkenalkan kami pada mereka berdua. Mengetahui ada guru baru, wajah pak Ancah langsung berbinar bahagia.
Aku dan istri lalu menyalami mereka berdua dan menyebut nama masing-masing.
"Bimo Santoso pak. Guru Olahraga"
"Sriatunisa pak. Guru Bahasa Inggris."
"Mantap, mantap. Semoga betah. Sekolah kita memang butuh guru baru." ujar pak Ancah sambil menyambut tangan kami. Senyum di bibirnya begitu lebar, memamerkan barisan giginya yang putih.
Sedangkan lelaki di sampingnya, namanya pak Sahen. Dia bertugas sehari-hari untuk merawat serta menjaga sekolah ini. Ternyata, pak Sahen adalah laki-laki yang kami temui kemarin saat pertama kali tiba di sini.
Pak Sahen meminta maaf atas prilakunya kemarin, tapi kami sudah melupakan dan menganggap hal biasa.
Ada satu orang guru lagi yang belum kami jumpai, yaitu pak Tingen. Jadwalnya untuk mengajar tiap hari jumat, artinya esok hari.
Sementara itu, anak-anak tanpa sepatu dan berseragam putih merah kumal sudah berdatangan ke sekolah. Baju-baju mereka sudah menguning dan tidak bersetrika.
Diantara mereka, hanya beberapa orang saja yang memakai tas. Sedangkan lainnya menggunakan kantong kresek untuk wadah menyimpan buku, pensil dan polpen.
Anak-anak polos itu berlarian di halaman, saling kejar.
Sebagian lagi asyik bermain dengan kelompoknya.Tepat pukul tujuh, pak Kasno meminta pak Sahen untuk memukul lonceng panjang.
...teng..teng..teng...
Murid yang hanya 7 orang itu segera berkumpul di depan ruang guru. Mereka berbaris berjejer. Anak-anak itu masih bercanda dan tertawa. Beberapa masih saling dorong dan bertengkar.
Keributan anak-anak langsung hilang ketika pak Kasno berdiri di depan.
"Anak anak...hari ini kita ada guru baru."
"Horeee....!!!" Anak-anak yang masih polos itu terlihat gembira. Tangan mereka menari-nari udara, ada juga yang melompat-lompat kegirangan.
Melihat tingkah anak-anak tersebut, aku dan istri langsung tersenyum simpul. Di tengah pelosok belantara seperti ini, ada anak-anak negeri yang berjuang meraih cita-cita dengan kondisi serba terbatas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuyang ( Sudah Terbit )
Terror"Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan" akan terbit dengan judul "Kuyang" Note : Jangan lupa vote dan komen yak. Author kan nulisnya capek jadi wajar donk minta vote biar bisa bikin cerita terus 😁