" Semua masuk ke mobil. Ada Raung! " bang Junai berteriak memberi perintah. Ia menyarungkan mandaunya terburu-buru lalu bergegas masuk ke kursi sopir dengan panik.Sepersekian detik, kami semua sudah di dalam mobil. Istriku langsung merangkul erat lenganku. Dengan mata terpejam, mulut istriku komat kamit membaca ayat kursi. Suaranya bergetar bercampur tangis dan takut.
Aku juga membaca ayat kursi, yang lagi-lagi bacaannya salah-salah, tertukar dengan ayat yang lain. Di saat panik seperti ini aku kesulitan untuk konsentrasi.
Teriakan Takbir dan Istighfar terus keluar berulang-ulang dari mulut mas Tarno."Allahu Akbar...Astagfirullahulazim.." ucap Mas Tarno dengan lantang, berharap peti mati itu pergi menjauh.
...brum..brum...sssshhhh...
Beberapa kali distarter, mesin mobil selalu gagal menyala. Aku mengintip ke belakang dari balik jendela. Peti mati itu sudah berada di bahu jalan, bergerak terseok-seok menempel di atas tanah. Setiap satu langkah orang dewasa, peti itu berhenti, lalu bergerak lagi, bagaikan ada yang menyeretnya.
Warnanya hitam pekat, dengan kondisi papan yang kelihatan lapuk termakan usia. Di beberapa sisi terlihat ukiran pahat dengan motif yang rumit.
Terus bergerak tertatih, peti mati itu sudah berhasil mencapai badan jalan, sedangkan mesin mobil tetap gagal menyala. Walaupun berhasil menyala, belum tentu kami bisa lepas dari lobang yang dari tadi mengganjal di ban belakang mobil....sreeekkk....sreeekkk....
Suara gesekan peti mati dengan tanah berpasir menimbulkan suara yang membuat jantung hampir lepas. Peti mati itu terus mendekat, tidak menghiraukan lantunan ayat suci yang keluar dari mulut istriku maupun pekikan takbir dari mas Tarno.
......sreeekkk....sreeekkk....
Suaranya semakin jelas terdengar, menandakan ia semakin dekat.
Bang Junai yang putus asa memukul-mukul setir mobil, sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Aneh...! Ada yang aneh...ada yang janggal." ucap bang Junai sambil terus memukul-mukul setir mobil.
Lalu ia berhenti, mencoba berpikir tenang ditengah ketakutannya. Dari kursi depan, Bang Junai menoleh kepada kami.
"Apa kalian bawa ketan, atau telur?" Nada suara Bang Junai tinggi penuh emosi.
Aku dan istri saling pandang, tidak mengerti maksud pertanyannya.
"Apa kalian ada bawa ketan atau telur?" Bentak mas Tarno.
"i-iya mas...telur asin"ucap istriku ketakutan. Ia lalu mencari-cari bungkusan kresek hitam perbekalan kami tadi di bagian kolong tempat pijakan kaki. Aku bergegas membantu, setelah ketemu, aku langsung mengangkat bungkusan kresek hitam itu. Bang Junai langsung menyambar bungkusan di tanganku, menurunkan kaca jendela kemudian melempar bungkusan snack kami melalui jendela ke arah peti mati yang semakin dekat.
Masih dalam keadaan panik, Bang Junai kembali mencoba menstarter mesin mobil, dan...
...brum..brum..
Anehnya, mesin mobil langsung menyala. Bergerak perlahan, terseok-seok dan bergoncang-goncang, mobil akhirnya berhasil kembali ke badan jalan.
Dari balik jendela, aku melihat peti mati itu terus bergerak, lalu berhenti beberapa meter dari kantongan kresek yang tadi dilempar bang Junai.
Peti mati itu lalu berdiri di tengah jalan, pintunya terbuka menghempas tanah. Ada sesuatu yang keluar dari peti itu. Sepasang kaki melangkah dengan bentuk tidak sempurna. Bagian tulang tungkainya terlihat, karena dagingnya banyak yang lepas. Rambutnya sangat panjang hingga menyapu tanah yang berlapis kerikil dan pasir. Mayat hidup, batinku. Belum sempat kulihat wajahnya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuyang ( Sudah Terbit )
Horor"Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan" akan terbit dengan judul "Kuyang" Note : Jangan lupa vote dan komen yak. Author kan nulisnya capek jadi wajar donk minta vote biar bisa bikin cerita terus 😁