Bab 09 : Rumah Dinas Guru

5.3K 466 16
                                    

Wadah bambu itu terus menyala, api menari-nari tertiup angin lalu perlahan padam.

"Monggo mas, mbak, diminum dulu."
Pak Kasno tiba-tiba sudah ada di ruang tamu, membawa tiga gelas teh hangat dan roti kering dalam nampan. Di cuaca seterik ini, rasanya paling pas kalau minus es. Tapi apa boleh buat, rejeki tidak boleh ditolak.

Sembari menikmati hidangan, aku menyerahkan amplop coklat dari Dinas Pendidikan ke pak Kasno. Pak Kasno membaca isi surat itu sambil mengangguk-angguk.

"Berarti mas Bimo yang lulus tes CPNS tahun kemaren ya. Untuk rumah dinas, bisa pilih yang bagian tengah. Ada kosong dua. Yang paling ujung udah diisi Pak Tingen, guru Agama Hindu Kaharingan."

"Beliau datang satu minggu sekali, sesuai jadwal ngajar. Soalnya beliau juga ngajar beberapa sekolah di kecamatan ini. Tapi, kadang beliau nginap berhari-hari untuk berburu. Kalo beruntung, saya bisa dapat daging kijang gratis. He..he..he "

Aku dan istri memperhatikan penjelasan pak Kasno, sambil menikmati teh kami yang masih panas.

"Di sebelah pak Tingen, ada pak Ancah. Wali kelas lima. Beliau biasanya datang pagi, pulang sore. Di sini cuman istirahat siang. Rumah beliau di kampung sebelah, di hilir desa ini. Biasanya bawa kelotok sendiri. Sesekali nginap, kalo sekolah ada acara atau keperluan lainnya."

Aku lalu mengambil asbak dari samping pak Kasno, lantas menyalakan rokok yang tersisa tiga batang.

"Amit nggih pak. Kalau ibu sama anak-anak dimana ya? Kok kayaknya sepi?" tanya istriku.

Pak Kasno terdiam sejenak, menyalakan rokok kretek miliknya, lalu lanjut bercerita.

"Dulu pernah ikut, sama anak-anak juga. Tapi cuman bertahan 2 bulan. Katanya gak betah. Maklumlah mbak, di sini terlalu sepi. Yaudah balik lagi ke rumah kami di kota Muara Teweh. Lagian di sana ada mertua. Saya biasanya ke kota satu bulan atau 2 minggu sekali."

" Biasanya kalau saya pulang ke kota, bisa sampai 1 minggu. Di sini muridnya sangat sedikit. Hanya ada dua kelas, yaitu kelas tiga sama kelas lima. Kalau saya pulang, sekolah saya titipkan sama pak Ancah atau pak Tingen." kata pak Kasno sambil meminun tehnya. Setelah gelas tehnya sudah di nampan, pak Kasno kembali bercerita.

" Kelas lima cuman ada 4 murid. Kelas tiga cuman 3 murid. Sedangkan kelas lainnya kosong.
Itu juga bukan berasal dari desa ini. Tapi murid dari kampung seberang, juga desa di pinggiran sungai lainnya. Mereka kemari pake kelotok kecil. "ujar pak Kasno sambil menghisap rokoknya.

"Lima tahun lalu, waktu saya pertama kali diangkat jadi kepala sekolah, cuman ada satu kelas. Ya yang sekarang pada duduk di kelas lima."

"Sebenarnya, ada kampung lagi di balik bukit. Tapi mereka menolak sekolah di desa ini. Kudengar, mereka bermusuhan dengan desa ini. Desa ini dan desa di balik bukit, tidak pernah saling berhubungan dalam 10 tahun terakhir."

"Kenapa pak?" tanya istriku.

"Kurang tahu. Paling masalah batas desa."

Pak Kasno menghentikan ceritanya, seperti ada yang disembunyikan. Aku masih penasaran dengan desa dibalik bukit, tapi pak Kasno sepertinya sudah tidak mau melanjutkan kisahnya.

Lalu, tiba-tiba perutku bersuara, menandakan rasa lapar yang cukup parah.

"Kalian sudah makan?" tanya pak Kasno padaku dan istri.

"Belum pak." jawabku sambil tersenyum tanpa rasa malu. Istriku mendelik dan cemberut padaku. Tapi aku cuek aja, soalnya memang sudah terasa lapar sekali.

"Kalian makan di sini aja. Sebentar saya masak dulu. Tapi seadanya."
Pak Kasno bergegas berdiri, tapi dipotong istriku.

"Pak, kalau mau belanja sembako dimana ya? "tanya istriku.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang