"Ruto-ya! Lagu buatanmu dan Sahi sangat bagus! Kami menantikan lebih banyak produser Ruto!"
"Kau jenius! Aku yakin Ruto pasti sudah menyiapkan karya lain untuk kami kan?"
"Ruto-ya, kau begitu berbakat, jadi segeralah kembali dengan karya yang lain."Pujian demi pujian ia dapat.
Terlalu banyak.
Terlalu banyak hingga hadirkan beban.
Beban yang tanpa dirinya sadari semakin berat.
Buat ia sulit bernafas.
Buat dirinya bertanya-tanya.'Mampukah?'
'Mampukah ia penuhi ekspektasi khalayak luas dengan kemampuannya yang belum memumpuni ini?'
'Bagaimana jika popularitas karyanya dan Asahi hyung hanya keberuntungan semata?'
'Apa yang harus ia ciptakan sekarang? Darimana ia harus memulai?'
'Bagaimana jika——Buyar.
Rentetan tanya dalam benak buyar begitu saja kala rungunya menangkap senandung halus. Terlalu mendayu hingga buat dirinya terbawa dalam tiap kata yang disenandungkan."You seem a lot of tired than yesterday
i know when I touch you,
Did the wind hurt you again?"Tolehkan kepala perlahan-lahan, seolah terhipnotis oleh lembutnya lantunan nada dari sosok tak dikenal.
Atensi keduanya bertemu.
Dapati sosok puan di balik layar ponselnya.
Asing, tentu saja.
Namun, terselip rasa nyaman disana. Selayaknya bukan kali pertama berjumpa."Why aren't you saying anything?
You can be honest with me"Kembali si puan bersuara.
Menyanyikan tiap kata yang dilontar.
Seolah-olah bertanya, seolah-olah beri ruang bagi dirinya 'tuk berbagi rasa."Tell me everything,
It's alright if it takes all night"Terdengar begitu halus, kontras dengan raut wajah si empu.
Puan dengan suara bak rengkuhan hangat tersebut memiliki rona wajah sedingin es.
Lekukan yang sempurna, namun tak sisipkan jiwa pada garis wajahnya.
Akan tetapi kala ia pertemukan iris miliknya dan puan di balik layar tersebut, dirinya menemukan sesuatu.Jiwa yang terkungkung di balik iris coklatnya.
Nampak samar, seolah-olah sengaja disembunyikan. Begitu sulit untuk dibaca.
Satu hal yang nampak pasti, tiap kata yang disenandungkan puan tersebut selaras dengan sorot matanya.
Begitu tulus. Seolah-olah membujuknya untuk berbagi kisah. Berbagi tumpukan beban yang dipikulnya."So your cold day can melt through me"
Rasa hangat perlahan hadir.
Sesuatu di balik dadanya terasa penuh, menggantikan resahnya tadi.
Tak mampu lagi ia menahan.
Senyumnya terbit tanpa disadari, bersamaan dengan degupan kencang yang tak wajar.
Ia yakin jika rekan-rekan disebelahnya tak bersuara dengan keras, semua orang akan mendengar tiap degupan di balik dadanya dengan jelas."I am all ears hmm,
I am all ears, I'm listening"Perlahan, tempo si empu melambat.
Beri tanda lagu yang ia nyanyikan telah usai.
Kedua mata puan tersebut tertutup untuk sepersekian detik. Ya, ekspresi pertama yang sosok itu tunjukkan.
Kepalanya merunduk untuk beberapa saat sebelum kembali bertukar tatap.Tidak, ini terlalu tiba-tiba.
Ia tak mampu bersuara.
Ia juga enggan 'tuk alihkan pandangan dari puan bersurai pirang dengan rona serupa langit di tiap ujungnya.
Hanya senyum yang ia pertahankan. Tersenyum bukan hanya dengan bibirnya, namun juga dengan sorot matanya.
Keduanya mempertahankan hening, namun sadar betul jika mereka bertukar rasa lewat tatap."Apapun yang terjadi padamu hari ini, jujurlah. Setidaknya pada dirimu sendiri. Jika kau sedih, katakan. Jika kau lelah, tunjukkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
All Ears [ Haruto ; Winter ]
RomanceEnggan untuk alihkan pandangan dari puan bersurai pirang dengan warna serupa langit di tiap ujungnya. Hanya senyum yang ia pertahankan. Tersenyum bukan hanya dengan bibirnya, namun juga dengan sorot matanya. Malam ini, dengan kesadaran penuh, Watana...