Prolog

130K 8.3K 621
                                    

Naila terdiam ketika aku memarahi nya habis habis an. Aku tersulut emosi, padahal se nakal apapun anakku, aku tidak sampai se emosi ini.

“Naila minta maaf mi,” katanya terisak sambil menunduk. Aku terdiam dan tidak habis fikir padanya.

Apakah kasih sayang orang tua nya kurang sehingga dia mencari kasih sayang kepada orang lain yang bukan mahramnya. Abizar yang masih berumur 6 tahun hanya mengelus punggung kakak nya itu.

Pim pim

Suara klakson mobil Abi berbunyi.

“Assalamualaikum, Abi pulang,” teriak Abi sambil membuka pintu. Naila semakin menunduk, mungkin dia juga takut Abi memarahinya. Padahal, Abi sama sekali bukan tipe orang yang biasa memarahi anaknya.

“Loh ada apa ini? kok pada diem diem an?” Tanya Abi sambil menaruh roti bolu di meja makan.

“Abiii,” Abizar berlari ke arahnya lalu memeluknya. Aku tersenyum melihat Abi, senlelah apapun, ia selalu memberikan senyum terhangat nya kepada anaknya.
“Abizar mau bolu? Nih Abi bawain, makan yang banyak nak,” katanya sambil mengelus rambut abizar lalu menciumnya. Disaat suasana kacau, aku tidak sedang memiliki mood yang baik, dan sedang tersulut emosi, Abi selalu bisa membuat garis bibirku menjadi lengkungan senyum. Aku berjalan ke arah Abi, lalu mencium tangannya.
“Ada apa sih?” Tanya Abi lembut. Perkataannya tidak pernah menyakiti, selalu lembut dan menghangatkan. Aku menggeleng.Abi hanya tersenyum melihatku.

Hidup bersama selama 20 tahun bersamanya bukanlah suatu yang mudah, banyak cobaan dan rintangan yang harus kita lalui. Meskipun begitu, aku bahagia karena melaluinya bersama Abi.

“Naila gak mau bolunya?” Tanya Abi melihat Naila hanya duduk di ruang keluarga. Naila hanya terdiam tidak merespon ucapan abinya. Aku menghela nafas panjang. Sebenarnya aku tidak ingin memarahinya, tetapi tadi ketika Naila sedang mandi, aku tak sengaja melihat notifikasi ponselnya. Tertera nama kontak nya adalah my boo, dengan pesan, “I love you,” Aku sangat yakin kalau dia sedang berpacaran, lalu seusai mandi, aku bertanya baik-baik padanya, namun dia malah terdiam dan tidak menjawab pertanyaan yang kuajukan, dan aku memarahinya
Lihat dia,  bahkan tidak menjawab pertanyaan Abi, padahal Abi hanya bertanya perihal bolu.  

Bukannya aku terlalu mengekangnya, tetapi mengapa dia harus mencari kasih sayang orang lain ketika di rumahnya adalah lautan kasih sayang? Huft.

****

“Ayoo semua makan malam,” teriakku dari ruang makan. Abizar langsung berlari dan mengambil jatahnya, begitupun Abi. Hanya Naila yang masih tidak beranjak dari kamarnya.
“Naila kenapa sih mi?” Tanya Abi sambil memakan tempe yang tersedia di meja makan.

“Tadi umi marahin dia,” jawabku jujur.
“Memang kenapa? Main hape terus?” akhir-akhir ini aku dan Abi memang sering menasehatinya perihal bermain ponsel. Baru ku sadari, Ternyata alasan dia sering begadang adalah pacarnya.

“Lebih dari itu, dia punya pacar,” kataku berbisik.

“Uhuk” Abi tersedak mendengar kata pacar. Pasalnya, dahulu Abi pernah mengalami trauma tentang kata pacar.

“Apaa?!! Naila pacaran?!!!” Suara Abi menggelegar sampai membuat Abizar terkejut. Anak berusia 8 tahun itu sepertinya belum paham makna pacaran hingga raut wajahnya hanya seperti orang kebingungan.
“Sssttt, udah Abi jangan marahin dia, tadi umi udah yang marahin,” kataku tidak ingin membuat Naila semakin tertekan.

“Mungkin dia masih belum terima, Umi suruh dia putusin pacarnya, karna umi gak suka kalo Naila pacaran,” lanjutku lalu menghabiskan sesuap nasi yang ada di piringku.

Abi mengangguk angguk, lalu melanjutkan makannya.

Selesai makan malam aku berniat mengobrol dengan Naila. Tugas orang tua ketika mengetahui anaknya bersalah bukan hanya memarahinya, namun juga harus di iringi nasehat dan solusi.

Tok tok tok

“Boleh umi masuk?” Tanyaku pelan setelah mengetuk pintu coklat kamar Naila.

“Iya mii,” Naila menjawab dengan suara pelan. Seharusnya, tak wajar bila anak marah atau mendiamkan orang tuanya, namun, tak wajar pula jika orang tua marah terlalu lama kepada anaknya. Aku membuka pintu perlahan. Naila yang menutup muka dengan selimut Hello Kitty nya membuat ku tersenyum. Anak itu sepertinya telah lelah menangis seharian.

“Umi gaakan marah lagi kok,” ujarku membuka obrolan sambil duduk di bibir kasur. Naila membuka selimutnya, mata nya sembab. Kata orang, pacaran itu menyenangkan. Namun, kenapa sebagian besar cerita teman-teman ku selalu menyedihkan mengenai pacaran?

“Tapi tetap Naila harus memutuskan hubungannya,” lanjutku tegas. Aku mengelus rambut Naila.

“Kenapa Naila pacaran?” Tanyaku hati hati. Naila menghela nafas panjang.

“Naila udah suka sama dia dari sejak kelas 1 MA mi, dia orang yang baik, rajin ngaji, Sholeh, pinter lagi,” katanya bercerita. Aku tetap mempertahankan senyumku.

“Teman teman sekelas Naila kebanyakan pada punya pacar, sedangkan Naila enggak, pas itu waktu lagi acara kemah, dia nembak Naila, so sweet banget, mii. Naila langsung meleleh. Akhirnya Naila terima dong... Naila seneng banget mi,” ujarnya menggebu gebu, seolah aku akan mengizinkannya berpacaran.

“Selain itu, dia juga bilang akan nikahin Naila, dia bilang dia akan selalu ngejaga Naila, jadi Naila tambah suka sama dia. Dia bilang, Naila cinta pertamanya,” katanya. Aku mengelus rambut Naila.

“Hmm jadi gitu ya, tapi Naila tau gak kalau pacaran itu dosa?” Tanyaku. Naila mengangguk. Aku tahu Naila anak baik. Ku didik dia sejak bayi sampai sekarang, jelas aku tahu wataknya. Namun, aku juga tahu bahwa syaiton pandai menggoda, apalagi para wanita.

“Kan katanya doi nya Naila itu Sholeh, nah doinya Naila itu tau gak kalau pacaran itu dosa?” Tanyaku lagi. Naila terdiam.

“Kalau dia benar benar Sholeh, dia gak akan ngajak Naila untuk berbuat kemaksiatan, dia akan langsung menghalalkan Naila dan gak akan pake embel embel pacaran,” lanjutku membuat Naila terdiam.

“Naila tau? Mencari pacar yang Sholeh itu ibarat mencari babi yang halal, gak akan pernah ada, kenapa? Karena yang Sholeh tidak akan pernah mengajak pacaran” kataku sambil tersenyum. Naila mengangguk kecil.

“Trus temen-temen nya Naila juga pada pacaran,” kata Naila membuatku tertawa kecil.

“Iya, memang semua yang temen Naila lakuin, Naila harus lakuin? Kalau mereka telanjang Naila juga mau telanjang?” Naila cepat-cepat menggeleng ketika ku beri pertanyaan seperti itu.

“Dan lebih parahnya, pacaran itu yang dapet dosa gak cuman Naila, tapi umi sama Abi juga dapet dosa nya,” Lanjutku. Naila bangun dari posisi tidurnya.

“Hah? Beneran mi?” Tanyanya heboh. Aku mengangguk.

“Ya, karna nanti umi sama Abi bakal di marahin sama Allah karna gak bisa didik Naila dengan baik,” jawabku membuatnya semakin bergidik ngeri.

“Jadi, Naila gausah sibuk mencari pasangan, karena Allah maha tau, dan rencana Allah itu indah banget, jadi gausah khawatir,” kataku lagi membuatnya mengangguk. Wajahnya mulai berubah dan tidak lagi murung.

“Emm, Naila mau tanya,” kata Naila hati hati. Aku mengangguk.

“Apa umi pernah menyukai laki laki selain Abi?” Tanya nya dengan mata berbinar-binar.

Aku tersenyum.

“Pernah,” jawabku.

“Terus gimana umi bisa ketemu Abi dan nikah sama Abi?” Tanya Naila menggebu-gebu. Sepertinya dia sangat penasaran.

Aku tersenyum mengingat masa-masa itu. Aku akan menceritakan betapa indahnya rahasia Allah dan betapa sempurna nya skenario-Nya.

----
ALHAMDULILLAH HASIL REVISI GUYS.

Dia Bukan Hanya Ustadzku ✓[SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang