"haruskah aku menjadi Indomie agar menjadi seleramu?"
-Ridwan Maulana Al-kamil-
-Aku berjalan pulang menuju asrama setelah acara wisuda berakhir. Acara itu berakhir sekitar pukul 13.00. aku bersama Rahma pun pulang. Jantungku yang sedari tidak berhenti untuk berdebar akibat ustadz Ridwan yang selalu tiba-tiba muncul di hadapanku.
"Ciee, gimana kemajuan sama Kak Farhan?" Tanyaku menyenggol bahu Rahma.
"Hiss, ustadz Farhan, pliss," katanya mengingatkan. Aku terkekeh.
"Iya, iyaaaaa USTADZ FARHAN!" kataku mengeraskan bagian kata Ustadz dan Farhan. Rahma menabok pipiku pelan.
"Biasa aja, sih, cuma sekedar kakak dan adek kelas," kata Rahma menjawab pertanyaan ku. Aku mengangguk-angguk. Aku percaya bahwa selama ini Rahma tidak diam saja, dia pasti berusaha keras mendapatkan hati seorang kak Farhan.
Rahma bukanlah orang yang mudah menyerah. Apalagi mencintai dalam diam, dia adalah orang yang blak-blak an dalam mengekspresikan perasaannya.
"Pulang kapan kamu?" Tanyaku. Setelah di wisuda, kami memang di perbolehkan pulang layaknya libur. Bedanya ini adalah pulang kelulusan. Kami tidak akan kembali ke pesantren ini lagi kecuali jika ingin mengabdikan diri atau mendapat kampus di dekat pesantren ini.
"Besok," Jawab Rahma. Aku dan Rahma pun sampai di asrama. Saatnya membuka hadiah dari beberapa adik kelas dan orang-orang terdekat. Di pesantren kami memang sudah menjadi tradisi adik kelas memberi hadiah dan setangkai bunga kepada Kakak kelas saat wisuda.
"Aku juga besok," kataku sambil mengeluarkan kotak kecil pemberian ustadz Ridwan dari kantungku.
"Eh, dari siapa tu?" Tanya Rahma. Aku hanya tersenyum.
"Tebak?" Aku membuka kotak kecil itu. Rahma mendengus. Mungkin dia sedang malas tebak-tebakan.
"Subhanallah, tasbih nya bagus banget," aku mengambil tasbih coklat mengilap dari dalam kotak kecil itu. Tasbih itu terlihat seperti tasbih yang di pakai orang-orang saat berhaji.
"Gilaaa, bagus bangett," Rahma memegang tasbih yang lumayan panjang itu.
"Ngaku dari siapa?!" Kata Rahma memaksa. Aku mengangguk menyerah lalu mendekatkan mulutku ke telinga Rahma.
"Ustadz Ridwan," kataku. Rahma membelalakan mata terkejut.
"Ya Allah, raaaa, kan aku dah bilang,"
"Tadi beliau ajak aku foto," aku menyela ucapan Rahma. Rahma semakin menjadi-jadi mendengar pernyataanku.
"Eh," aku menemukan sebuah kertas kecil di kotak itu.
"Selamat wisuda, semoga berkah, dah hadiahnya bermanfaat,"
Aku tersenyum membaca tulisan itu.
"Dih, ngapa senyum-senyum?" Tanya Rahma yang membuatku langsung berhenti tersenyum. Seperti tertangkap basah.
"Cieee ilahhh, so sweet banget si ustadz," kata Rahma setelah membaca tulisan dari ustadz Ridwan. Aku tersenyum.
"Ustadz Farhan kan maksudmu?" Aku malah balik mengejeknya. Rahma memukulku dengan wajah yang datar.
"Apaan si!"
Aku terkekeh lalu membuka hadiah yang lain.
-
Aku memeluk Rahma sebelum kami sama-sama berpisah selama 4 bulan. Aku dan Rahma mendaftar di kampus yang berbeda. Aku mendaftar di kampus negri sedangkan Rahma mendaftar di kampus Islam negri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Bukan Hanya Ustadzku ✓[SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Seringkali Takdir mempertemukan dua insan yang tepat, Di waktu yang salah" Itulah kalimat yang tepat untuk Ridwan dan Zahra. Kedua insan yang tepat, namun bertemu di waktu yang salah. Pada akhirnya, mereka harus sama-sama tersakiti untuk mendewasak...