19# Riddle

737 151 4
                                    

Tzuyu harus bersyukur karena ia tidak sendirian. Ya, setidaknya untuk saat ini, Kibum bisa diandalkan. Tanpa bertanya lebih jauh atau mendesak Tzuyu memberi jawaban, lelaki itu tetap mengantar adik sepupunya.

Mereka bertemu di perempatan jalan, itu pun karena Tzuyu yang memintanya. Awalnya, Kibum bereaksi seperti biasa, menjadi cerewet dan terlalu menyebalkan. Namun, saat melihat gadis itu mengulum senyum getir ketika memasuki mobil, Kibum yang pada dasarnya dianugerahi kepekaan luar biasa, mengerti bahwa saat ini Tzuyu lebih membutuhkan diamnya.

Kibum memutar setir mobil, memasuki area perumahan yang lebih dekat ke kota. Ia menahan segala rasa penasaran dan hanya mengikuti arahan yang Tzuyu berikan. Agaknya, kawasan perumahan ini lebih sepi daripada daerah di mana Tzuyu dan ibunya tinggal.

"Berhenti, Oppa."

Kibum langsung menghentikan mobil. Ia juga mematikan mesinnya, lelaki itu sibuk menatap ke arah jalanan depan yang terlihat lengang, tidak tampak ada kehidupan yang melintasi jalanan. Namun, saat ia siap membuka suara, matanya lebih dulu menangkap arah netra Tzuyu yang terkunci ke satu titik.

Di arah jam dua, ada sebuah rumah bercat abu muda dengan beberapa tanaman hias dan pagar hitam. Tidak ada yang aneh dari sana, rumah itu terlihat nyaman dan indah. Kecuali keberadaan sosok yang amat sangat ia kenal, pamannya.

"Tzuyu ...?" Kibum berbalik cepat, melihat bagaimana sorot mata pedih adiknya dan sebuah lelehan bening di wajah cantik Tzuyu. Gadis itu tersenyum pahit, menatap balik Kibum yang siap meluncurkan banyak sekali pertanyaan. "Kau ...?"

Kibum kembali melirik ke arah rumah itu. Terlihat bahwa tuan Chou tengah tertawa karena tingkah seorang gadis muda yang tampak membelakanginya. Pemandangan yang membuat batin Tzuyu menjerit sakit. Di sana, ayahnya terlihat bahagia, tertawa dengan suka rela, sesuatu yang tidak lagi Tzuyu dapati terhadap dirinya.

Melihat hal itu, Kibum tidak bisa lagi untuk diam. Ia melepas seatbelt dan hendak keluar saat Tzuyu menahan lengannya.

"Tapi, Tzuyu, dia---"

"Tidak, Oppa, kita akan pergi sekarang."

"Apa?"

"Ayah baik-baik saja, dan itu cukup untukku."

❄❄❄

Perlu menurunkan ekspektasi agar tidak mengalami kecewa yang terlalu berat, dan sejak mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya, berangsur-angsur, Tzuyu mulai menurunkan segala harapan. Namun, tetap saja, meski bukan untuk yang pertama kali, perasaan hancur menyerbunya tanpa ampun.

Sebagai seorang putri, yang selama belasan tahun meyakini bahwa ia adalah satu-satunya, Tzuyu memiliki mimpi sangat tinggi terhadap kedua orang tuanya. Sesuatu yang tidak lagi berlaku sekarang.

Di depannya, Kibum masih diam. Ia membawa adik sepupunya menuju salah satu rumah makan. Kondisi Tzuyu terlihat mengkhawatirkan, ia bahkan tak tahu bagaimana jadinya jika saja Tzuyu nekad pergi seorang diri. Beruntung karena waktunya lengang hari ini.

"Sudah hampir seminggu, Ayah tidak pulang."

Suara Tzuyu yang diselimuti getar sukses membuat Kibum menyimpan kembali minumannya. Sekali lagi ia melihat bagaimana Tzuyu mencoba memberikan senyum, bukan untuk menjelaskan bahwa dia baik-baik saja, tetapi untuk mengatakan bahwa ia terluka.

"Dan aku sudah menduga ini."

Kibum menegakkan tubuh. "Tapi, Tzuyu, bagaimana kau tahu?"

A Memoir [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang