Tzuyu tidak bisa tidur. Seperti biasa dan malam-malam sebelumnya. Padahal, ia harus bangun lebih pagi besok, ada janji temu yang setelah sekian lama akhirnya baru bisa dipenuhi, membuat Tzuyu bertekad untuk tidak lagi mengecewakan orang yang sudah mau menunggunya selama ini hanya karena percaya bahwa dirinya bisa menjadi partner bisnis paling baik di kota ini. Alasan klise yang mengatakan bahwa orang itu tak pernah salah memilih dan memilih orang yang salah.
Ia mendesah, memilih bangun untuk mencuci wajah. Biasanya hal ini cukup efektif dilakukan ketika mulai merasa gelisah. Memaksa untuk tidur rasanya percuma, terlalu banyak hal yang menjadi bayang-bayang dalam benaknya.
Tangannya meraih sebuah kotak berukuran cukup besar, mengeluarkan beberapa kain flanel dan peralatan lain. Dengan cekatan Tzuyu membuat pola, lalu menjahitnya.
Selama lebih dari tiga jam Tzuyu berkutat dengan alat-alat itu, beberapa kali juga jarinya tertusuk jarum dan dengan cepat ia mengemut bagian yang berdarah. Hal yang sebenarnya tidak baik, tapi ia terbiasa melakukan itu. Jam sudah menunjukkan pukul satu malam saat Tzuyu merasa bahwa seluruh tubuhnya pegal, ia berhenti, menatap beberapa gantungan yang sudah mengisi keranjang lainnya.
Ia kemudian menaiki ranjang dan berbaring, menatap langit-langit kamar yang kini sudah kembali gelap. Tzuyu baru akan terlelap saat suara tangis terdengar, perlahan dan bertambah keras. Tzuyu langsung membuka mata dengan nyalang, meremas ujung selimut yang menutupi hingga batas perutnya dengan resah. Berusaha untuk tidak bangkit dan keluar kamar menuju sumber suara memilukan itu.
Seperti malam-malam lainnya, sang ibu kembali menangis, terdengar begitu letih dan sedih. Tzuyu tahu alasannya, sangat tahu. Bukan hanya karena anak semata wayangnya yang sudah mirip seperti orang gila, luka hati sang ibu lebih dalam dikoyak oleh kenyataan bahwa ayahnya telah mendua, memiliki wanita lain di luar sana, memiliki anak-anak yang mungkin lebih mudah untuk dicintai semua orang, tak seperti dirinya. Dan semua kelam yang terjadi padanya dulu hanya menambah keluarga mereka jatuh pada lubang kesedihan yang semakin dalam.
Tzuyu menatap langit-langit kamar dengan pandangan yang mulai mengabur. Lalu mengusap pelipisnya yang telah dialiri air mata. Suara tangis itu selalu hadir hampir setiap malam, setiap sang ayah memutuskan untuk keluar. Berganti menjadi isak lirih yang lebih menyakitkan. Tzuyu merasa lemah dan tak berdaya. Bahkan, meski sangat ingin, ia harus tetap berpura-pura tak mengetahui apa pun.
❄❄❄
"Duduklah ... Ibu membuatkan roti kentang kesukaanmu." Tzuyu hanya mengangguk, bergerak patuh menempati kursi yang telah disiapkan sang ibu untuknya. Ia masih tetap diam saat wanita yang kini sibuk menghidangkan menu sarapan terus berbicara, meski saar bertatapan ibunya akan memberi sebuah senyuman. "Makanlah, Nak."
Tzuyu menatap ibunya penuh rasa bersalah. Wanita paruh baya itu masih terlihat cantik dan mampu merekayasa semuanya terlihat baik-baik saja meski sembab di matanya begitu parah. "Tzuyu, ayo dimakan."
Tzuyu hanya mengangguk, meraih peralatan makan dan mulai memasukkan nasi ke mulutnya. Sang ibu terlihat tersenyum, memandang putri satu-satunya yang amat ia cintai dengan penuh rasa iba dan berdosa.
"Habiskan sarapanmu pelan-pelan," tambahnya yang kemudian mulai memakan bagiannya. "Bagaimana hari ini? Pertemuannya jadi dilakukan?"
Tzuyu menatap sang ibu lalu mengangguk. Tampaknya mereka memang harus terbiasa dan merasa cukup dengan respons yang diberikan sang putri.
"Jam berapa kau akan pulang, Sayang?"
"Sepertinya sebelum siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Memoir [COMPLETED]
Fanfiction|SEBAGIAN PART TELAH DIHAPUS| Selama beberapa waktu kebersamaan, kata cinta itu tak pernah saling ditukar. Di satu sisi, Tzuyu sebagai sosok yang selalu menanti mendapatkan pengakuan cinta dari prianya, di sisi lain Jungkook yang mungkin tak pernah...