"Itu karena Tzuyu 'kan?!" Cici berseru di belakang Jungkook, suaranya terdengar penuh tuntutan. Ia tak peduli saat mendapat tatapan tajam dari beberapa pria yang juga sudah masuk ke dalam ruangan, dan Hoseok yang terakhir masuk masih berdiri di depan pintu setelah menguncinya.
Jungkook menggeram, menatap tajam satu-satunya wanita yang menjadi kepercayaannya. Dan yang lebih sial dari itu adalah ia sama sekali tak punya jawaban untuk pembenaran.
Lelaki Jeon itu memang tidak berniat memberi jawaban, namun diamnya justru memberi lebih jelas dari apa yang mereka inginkan.
Taehyung menyenggol lengan Seokjin dan bertanya menggunakan isyarat, tapi ia harus puas saat Seokjin tak berniat memberinya penjelasan apa pun.
Jungkook mengerang, mencengkeram kuat pistol di tangannya. Wajahnya mengeras, terlihat benar-benar marah. Pertemuan tak terduga itu nyatanya mengganggu lebih dari seharusnya. Tzuyu masih berefek sebesar itu terhadapnya, ternyata. Dan Jungkook membenci diri sendiri atas ketidakmampuannya wanita itu yang sekarang berhasil menguasainya dengan cepat.
"Dia tidak seharusnya datang ke sana ... tidak sama sekali." enam pria lain di sana tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut di wajah mereka. Selama bertahun-tahun, susunan apik yang mereka rencanakan gagal hanya dengan sebuah ketidaksengajaan di mana Jungkook dan Tzuyu, sebagai puncak perselisihan sekarang kembali bertemu. "Dia tidak berhak menginjak dermaga itu lagi dan bertingkah semaunya."
Cici, sebagai satu-satunya wanita dan mungkin yang masih memiliki akal sehat, hanya menggelengkan kepala. Menatap tak percaya pada pimpinan kelompok mereka yang bisa berpikir picik terhadap sosok wanita yang ditinggalkannya.
"Lima belas orang dilarikan ke unit gawat darurat, dan dua diantaranya adalah anggota kepolisian." Cici kembali melangkah, membuatnya berhadapan langsung dengan Jungkook. "Beri aku alasan bagus agar tak berakhir menertawakanmu yang terlalu lemah, Jungkook...."
"Diam!" teriak Jungkook menendang kursi di hadapannya, lelaki itu mengarahkan pelatuk tepat di kening Cici, membuat yang lainnya bersiap waspada.
Bagaimanapun, Cici tumbuh dalam lingkungan gelap yang membuatnya tak gentar hanya karena ancaman kematian, ia bahkan pernah hampir mati saat menjalankan misi, dan gertakan Jungkook kali ini sama sekali tak berpengaruh apa pun.
"Kau tidak sekuat itu, Jungkook ... tidak jika masih ada seseorang yang menjadi kelemahanmu."
"Dia bukan kelemahanku."
"Oh, iya? Kalau begitu buktikan. Apa yang salah dengan bertemu kembali dengannya hingga kau kehilangan semua ketenanganmu itu sekarang?"
"Karena dia tak seharusnya memamerkan keberhasilannya!"
"Oh ... dan kau pihak yang gagal?" Namjoon mendesis, mengepalkan tangan lebih kuat saat perasaan ingin meninju wanita itu kian besar. Namun, Yoongi menahannya. "Itu bukan salah Tzuyu, itu salahmu yang masih saja datang ke tempat itu. Lagipula, kalian masih hidup di dunia yang sama, bukan?"
Cici hanya menarik sebelah bibirnya ketika melihat amarah di wajah pria Jeon itu. Ia menikmati permainannya, dan berjanji pada diri sendiri memanfaatkan segala situasi untuk mempermainkan Jungkook sebagai sebuah hiburan ketika bosan.
Wanita menepis tangan Jungkook yang masih mengarahkan pistol ke kepalanya, lalu maju satu langkah. Keduanya saling memberi tatapan tajam, dan Jungkook semakin murka saat melihat senyum remeh di wajah salah satu tangan kanannya itu.
"Jika tak ingin bertemu lagi, putuskan saja, siapa yang lebih baik pergi dari dunia ini ... kau atau dia?" Cici tertawa saat mendengar suara protes yang lainnya, wanita itu mengedikkan bahu sebelum kembali memasang wajah serius. "Tapi, karena kau ingin selalu menjadi pihak yang meninggalkan, lebih baik kau saja, Jungkook. Di neraka kau takkan bertemu malaikat sepertinya, bukan?"
❄❄❄
"Kau sudah lama menunggu?" Tzuyu cukup terperanjat, namun akhirnya tersenyum dan menggelengkan kepala. Di depannya kini sudah duduk seorang lelaki, mengenakan kaus putih polos yang dibalut dengan sebuah tuksedo hitam.
"Oppa baru sampai?"
"Um, sebenarnya tidak, aku sampai kemarin sore, tapi tadi ada rapat kecil yang harus kuhadiri."
Tzuyu mengangguk, menatap penampilan pria itu sebelum kembali tersenyum. "Aku senang melihatmu hidup dengan baik, Oppa."
Kim Bum, nama lelaki itu. Dia adalah saudara jauh Tzuyu. Satu-satunya orang yang bisa Tzuyu akui sebagai saudara selain dua anak ayahnya yang lahir dari rahim wanita lain. Bum adalah anak tunggal dari kakak sepupu ibunya.
Lelaki itu balas tersenyum, mengangguk membenarkan. Ia jelas tahu maksud perkataan Tzuyu. Sebagai saudara, Tzuyu tentu tahu bagaimana kisah hidupnya. Menjadi anak broken home dan harus ikut tinggal bersama keluarga baru ibunya di luar kota setelah kembali menikah. Itu kenapa hubungan mereka cukup dekat dulu, selalu saling menguatkan sebelum akhirnya secara paksa Bum harus pergi meninggalkan Tzuyu sendirian.
"Bagaimana kabar Bibi?" Bum memilih untuk beralih topik, ia tak mau pertemuan mereka kali ini menjadi ajang curah pendapat tentang siapa yang paling menyedihkan.
Tzuyu mengangguk. "Ibu baik, seperti biasanya." wanita itu tak bisa menyembunyikan raut sedih ketika Bum menatap iba padanya.
"Jadi ... bagaimana, Oppa? Apa kau bisa membantuku?"
"Tentu saja, Tzuyu. Katakan apa saja yang kau butuhkan?"
Tzuyu tersenyum, terlihat tertarik dengan pembicarannya sekarang. "Aku belum membutuhkan yang lain, Oppa. Hanya beberapa yang kusebutkan kemarin, untuk kekurangan aku akan menghubungimu lagi nanti," ucap Tzuyu semangat, namun kembali memasang ekspresi sungkan. "Um ... jika kau tidak keberatan."
Bum tergelak, mengacak rambut Tzuyu karena perkataan adik sepupunya itu. "Tentu saja tidak, Tzuyu. Aku akan membantumu, selalu. Tapi mungkin jika aku sedang ada urusan di luar, anak buahku yang akan menyiapkannya."
"Tidak masalah, Oppa, terima kasih."
Tzuyu tak bisa menyembunyikan rona bahagia. Sudah terlalu lama, ia hampir tak pernah punya teman untuk diajak bicara setelah Bum pergi. Lalu, jauh setelah sepupunya itu tinggal di luar kota, datang lagi satu sosok yang bisa membuat harinya mempunyai sedikit warna, Jungkook. Walau akhirnya, lelaki itu justru menenggelamkannya pada kegelapan tanpa menyisakan warna lain selain hitam kelam dalam hidupnya.
"Tzuyu? Kau mendengarkanku?"
Tzuyu mengerjap, tidak sadar telah melamun. Ia sempat tergagap sebelum akhirnya menyahuti lelaki itu. "Iya, Oppa?"
"Makanannya sudah datang."
"Ah, iya ... terima kasih."
"Ada yang kau pikirkan?"
Tzuyu menggelengkan kepala. "Tidak ... hanya berpikir, apa aku perlu ikut bekerja denganmu, Oppa?" ujar Tzuyu diakhiri dengan kekehan. Tidak menyadari bahwa ekspresi riang Bum berganti dingin, ia bahkan urung memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
▪️▪️🍃▪️▪️
12 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
A Memoir [COMPLETED]
Fanfiction|SEBAGIAN PART TELAH DIHAPUS| Selama beberapa waktu kebersamaan, kata cinta itu tak pernah saling ditukar. Di satu sisi, Tzuyu sebagai sosok yang selalu menanti mendapatkan pengakuan cinta dari prianya, di sisi lain Jungkook yang mungkin tak pernah...