31 - Peluk

13 2 0
                                    

Mobil sport berwarna hitam itu sudah melaju menjauh. Rean menatap jalanan, tidak ada yang tahu apa yang di rasakan cowok itu sekarang. Rean sangat bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan dan sebisa mungkin ia juga menahan amarah serta emosinya.

Rean mengusap sudut bibirnya yang terluka, darah juga mengalir di bibirnya itu. Hantaman tinju dari orang yang menemuinya tadi begitu kuat hingga rean tadi sempat terhuyung ke belakang.

Rean mengambil tasnya yang tergeletak di tanah, ia memasukkan buku-bukunya yang berceceran kembali ke dalam tas.

Seseorang datang menghampiri dan juga ikut membantu rean, menyadari itu rean langsung mengangkat kepala melihat siapa yang menolongnya.

"Ini." Amanda tersenyum memberikan buku rean yang langsung di terima oleh rean, ia memasukkan buku itu ke dalam tasnya.

Amanda terdiam melihat sudut bibir rean yang terluka, darah yang keluar juga banyak.

"Sudut bibir Lo berdarah." Ucap Amanda menunjuk pada luka rean.

Rean mengusap darah yang keluar di bibirnya itu dengan tangan, ia berdiri dan menyandang tasnya.

"Ayo ke sini." Rean yang hendak melangkah ke halte malah di tarik Amanda untuk ikut dengannya.

Mereka kembali memasuki halaman belakang sekolah, Amanda meminta rean untuk duduk pada kursi yang ada di tempat itu.

"Tunggu disini, gue ke sana dulu. Jangan kemana-kemana, tetap disini." Ucap Amanda kemudian berlari mencari sesuatu yang bisa mengobati luka rean.

Sementara rean menghembuskan nafas, ia kembali menyeka darah itu dengan ibu jarinya. Nafasnya kembali menggebu teringat perkataan yang ditujukan cowok itu padanya.

Rean menendang dengan kakinya semua yang ada di dekatnya, mungkin kali ini emosinya sulit untuk dia tahan. Rean paling sensitif jika ada orang yang menceritakan atau menyebut nama papanya. Rean benci dengan pria yang merupakan ayahnya itu, sampai kapanpun rasa benci itu tidak bisa ia hilangkan.

Amanda dari kejauhan kembali berlari menghampiri rean dengan menenteng kantong plastik yang diyakini berisi makanan dan juga obat-obatan.

Ia membungkuk mengatur napasnya begitu sampai di dekat rean. Amanda kembali berdiri, ia duduk di kursi samping rean. Tangannya mulai membuka kantong plastik itu dan mengeluarkan obat yang tadi ia beli di luar sana.

Amanda meneteskan sedikit alkohol di kapas kemudian mengusapkannya pada sudut bibir rean yang terluka. Cowok itu tampak tenang menerima, tidak ada ringisan atau raut kesakitan di wajahnya itu.

Amanda menjauhkan tangannya dari rean, ia melirik cowok itu yang biasa-biasa saja dan tidak merasakan perih sama sekali. Amanda yang memberikannya saja sudah meringis melihat.

"Nggak sakit?" Tanya Amanda yang dibalas gelengan oleh rean.

Amanda membuang bekas kapasnya itu ke tempat sampah yang berada di dekatnya, ia kembali mengoleskan obat di luka rean tersebut.

"Udah selesai." Amanda mengemaskan kembali yang ia gunakan ke dalam plastiknya.

Rean mengusap sudut bibirnya yang sudah di obati Amanda. "Makasih."

Amanda merespon dengan anggukan, ia tengah sibuk mengeluarkan beberapa makanan yang beli dari dalam kantongnya.

"Buat Lo." Amanda menyerahkan makanan itu pada rean yang langsung di terimanya.

Angin berhembus tenang menjatuhkan beberapa daun dari pohonnya. Mereka terdiam menikmati makanan tersebut.

"Gue tahu lo lagi banyak pikiran dan masalah." Ucap Amanda tiba-tiba, ia melirik rean.

"Lo bisa cerita ke gue. Gue akan menjadi pendengar dan penasehat yang baik untuk Lo." Lanjut Amanda.

Rean membuang sampah makanannya, matanya menatap lurus ke depan. "Lo nggak akan ngerti."

Amanda meletakkan makanannya, ia menghadap sepenuhnya pada rean. "Setidaknya semua masalah Lo akan sedikit berkurang jika menceritakannya."

Rean menghirup napas dan menghembuskannya. Ia melirik Amanda. "Gue punya kembaran. Cowok yang tadi itu adalah kembaran gue, namanya Rian." Rean mulai menceritakannya pada Amanda, karena dia merasa Amanda lah orang yang tepat untuk berbagi cerita.

Amanda awalnya terkejut mendengar bahwa rean ternyata mempunyai saudara kembar dan pantas saja cowok yang tadi itu mirip dengannya. Amanda mengangguk mendengarkan, ia sebenarnya juga senang mendengar rean mau bercerita semua tentangnya yang ingin ia ketahui dari dulu.

"Gue dan Rian tidak pernah akur dari kecil."

"Kenapa?" Tanya Amanda mengerutkan kening.

"Karena papa. Papa selalu membedakan kasih sayang antara gue dan Rian." Lanjut rean bercerita.

Rean menghela nafas "Gue benci papa sejak saat itu. Gue nggak pernah merasakan kasih sayang darinya, kasih sayang yang ia tunjukkan selalu untuk Rian padahal kita itu sama."

Amanda ikut merasakan kesedihan yang dirasakan rean. Dia paham bagaimana rasanya diperlukan seperti itu meskipun Amanda tidak pernah merasakannya. Tapi ia sadar diperlakukan berbeda apalagi dengan saudara kembar sendiri itu menyakitkan.

"Dan rasa benci gue itu semakin bertambah ketika melihat papa memukuli mama hingga berdarah." Mata rean mulai berkaca-kaca, ingatan itu kembali terbayang di benaknya. Bagaimana orang yang ia sayangi terluka oleh ayah kandungnya sendiri.

Amanda menitikkan air mata melihat rean. Amanda menghirup napas dan melihat ke arah lain untuk menyembunyikan air matanya.

"Gue sangat benci papa lebih dari apapun. Ketika mama sakit dan butuh kehadirannya, namun dia malah bersama wanita lain. Mama semakin sakit-sakitan mendengar kebenaran jika papa berselingkuh dengan wanita lain di belakangnya."

"Sampai kapanpun gue nggak pernah maafin pria itu yang sudah membuat mama gue terluka." Air mata yang selalu dipendam oleh rean meluncur begitu saja di pipinya. Mamanya adalah sosok yang sangat ia sayangi di dunia ini, ia yang selalu ada di sampingnya. Namun sekarang rean hanya sendiri di temani oleh kesepian.

Rean menunduk, air mata itu terus mengalir di kedua pipinya. Amanda merasa kasihan pada rean, begitu banyak kesedihan yang ternyata ia simpan sendiri selama ini. Amanda ingin mengenal rean lebih dulu agar ia bisa mengobati kesedihannya itu dengan sebisanya.

Melihat rean yang terisak, Amanda langsung memeluknya. Amanda memeluk rean erat menyalurkan kekuatan padanya, ia juga menepuk-nepuk bahu rean untuk mencoba menenangkan.

Rean memejamkan matanya di pelukan Amanda, ia menumpahkan semua kesedihannya itu pada Amanda. Berada di pelukan Amanda saat ini membuat rean merasakan ketenangan, ini yang selalu ia inginkan dari dulu. Dia butuh seseorang yang bisa untuk berbagai semua bebannya ini. Dan akhirnya Amanda hadir tanpa ia sadari dan ia cari.

"Nangis aja, jangan di tahan. Gue akan tetap disini, nemenin Lo." Ucap Amanda dengan menyeka air mata yang membasahi pipinya.

Amanda mengerti sekarang kenapa rean selalu menyendiri dan tidak punya teman, itu semua karena luka yang ia tahan dan tidak bisa ia ceritakan. Ia hanya bisa diam menahannya sendirian.

"Gue tahu ini sulit bagi Lo rean. Gue akan selalu ada untuk Lo mulai sekarang hingga seterusnya, gue akan bersedia memberikan bahu dan pelukan gue untuk Lo dikala Lo membutuhkannya." Gumam Amanda menatap rerumputan yang bergoyang di tiup angin.

~~~~~~~~~~
TBC

Garis CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang