Aku sudah membeli testpack dan tentu saja hasilnya negatif. Apa yang kalian harapkan? Aku hamil dan menuntut pertanggung jawaban dari orang itu? Kumohon. Itu kisah klise sekali.
Sejak terakhir aku melihat pria itu di ruangan kadet aku sudah tidak pernah melihatnya lagi. Menguntungkan sekaligus mengganjal. Tayuya selalu mengingatkan akan angin sepoi-sepoi sebelum badai. Tapi aku mana peduli.
Hanya tinggal beberapa hari lagi aku akan kembali ke Jepang. Persetan dengan Emily dan lamarannya.
Aku mengemas sepatuku dengan cepat, menatanya di koper sedemikian rupa. Terlihat rapi dan sistematis. Aku tertawa dalam hati. Sejak kapan aku peduli.
"Itu koper terakhir?"
Aku mengangguk dan Emily dengan mata memerah menyeretnya ke garasi.
"Kau benar-benar akan pergi?"
Aku memutar mata dan berlalu ke kamar, mengambil syal merah dari ibuku kemudian memakainya di depan kaca. Seperti biasa. Aku selalu eksotis.
"Besok aku masih wisuda. Ingat?" Aku masih akan mengurusi beberapa hal dan mereka sudah merencanakan farewell party untukku.
Kami akan menginap di rumah Amber. Gadis berambut ikal coklat itu menyiapkan beberapa kejutan. Katanya. Tapi aku harap itu bukan untuk mengorek informasi dariku.
Kami sampai di apartemennya setelah mengirim koper terakhirku ke eskpedisi luar negeri. Ibuku berulang kali menelpon, menanyakan apakah mereka perlu datang. Tentu saja aku menjawab tidak.
Pertunangan Tayuya yang tiba-tiba saja sudah cukup membuat keduanya sibuk. Terlalu banyak hal yang harus di urus jadi aku tidak akan membebani mereka.
Amber menyambut kami dengan piama gambar beruang miliknya. Lupakan lingerie. Ini malam khusus gadis. Atau wanita.
"Aku ingin tidur." Tentu saja Emily langsung menarikku. Kami menari hula-hula sambil menghisap rokok dan menuangkan bir kualitas tinggi yang tadi di pesan Amber. Aku bahkan curiga kalau semua ide Kimberly yang sejak tadi tidak terlihat batang hidungnya.
Tidak ingin memikirkan lebih, aku memilih beberapa drama bagus yang akan kami tonton. Oh. Tentu saja yang di dalamnya berisi pria tampan. Lupakan pemeran perempuannya. Aku bahkan lebih menarik dari mereka.
"Ini terlalu aneh." Aku bergumam.
Bukan tanpa alasan. Aku tau seberapa gilanya duo jalang, Kim dan Emily dalam hal membuat kepalaku pusing. Dan girls night yang terlalu normal ini seakan aku baru saja terpental ke dimensi lain. Haruskah aku mencurigai kalau mereka semua adalah alien?
Dan tidak lama kemudian semua terjawab sudah.
Kim masuk dengan dua koper besar. Tiga pasang tripod dan lightning 90volt yang menyilaukan mata. Mengunci pintu dan tersenyum misterius. Firasatku mulai berkata aku harus mencoba melompat dari jendela kamar lantai dua milik Amber. Tidak terlalu tinggi aku rasa.
Aku sudah mundur beberapa langkah dan yang sudah aku duga Emily bekerja sama mengunci jendela kamar Amber.
"Jangan coba-coba Sakura."
Apa. Coba-coba bunuh diri. Aku berdeham dan memasang wajah datar. Percuma saja memberontak saat ini.
"Baiklah. Terserah apa kata kalian. Aku akan menyerah kali ini."
Aku berlalu. Mengambil sebotol wine kemudian menenggaknya di atas tempat tidur.
Emily dan Kim saling berpandangan dengan wajah bertanya. Tapi aku terlalu malas untuk meladeni mereka. Persetan dengan rencana mereka.
"Kau tidak melawan?"
Aku menggeleng. "Untuk apa? Kalian pada akhirnya akan mendapatkan ku. Lagi pula ini malam terakhir kita bersenang-senang. Sedikit kenakalan bukan masalah."
Kali ini Emily yang skeptis. Dia bergabung di kasur bersamaku sambil meraba keningku. Apa aku yang nakal membuat mereka berfikir alien tengah menguasai bumi?
"Apa aku harus percaya?"
Aku memutar mata. "Terserah pada kalian. Kim. Katakan rencananya."
Kim mendorong ring light besar itu kedepan ku sambil memberikan katalog. Gambar berisi macam macam model lingerie beserta harga sewanya begitu menyilaukan mata.
"Dan dua koper itu berisi semua ini?"
Lingerie dengan tema apron seksi, baju maid, sailor, tentara dan lainnya. Oh apa lagi yang lebih buruk?
Aku mengambil korek api, berpura-pura hendak menyalakan rokok. Melirik kunci kamar yang masih tergantung di pintu membuat bohlam di kepalaku menyala. Jadi aku meneruskan selebrasi seolah aku berdiri di podium dan mereka semua audien ku.
"Kalian akan membuatku berpose panas dan memotretnya seperti artis gravure?" Kim dan Emily mengangguk.
"Tentu kalian tidak akan menjualnya dan hanya menjadi koleksi pribadi kan?" Mereka lagi-lagi mengangguk patuh seperti anak kucing.
"Dan semua peralatan memotret itu di sewa oleh Kim?"
Mereka saling lirik satu sama lain. "Sebenarnya kami semua ikut patungan Sakura." Emily menjawab dan di benarkan oleh Amber.
Aku hanya mengangguk, berpura-pura memahami sambil menerawang selebaran yang ku pegang dekat dengan lampu dan alarm kebakaran.
"Persetan dengan kalian!"
Aku membakar kertas laknat dan sengaja mengarahkannya ke arah sensor kebakaran. Segera bunyi gaduh alarm mulai terdengar dan seluruh kamar basah oleh semburan air.
"SAKURAAAAAA!!!" Kim dan Emily berteriak marah sambil mengamankan peralatan agar tidak terkena semburan air. Aku menggunakan kesempatan itu untuk menarik selimut Amber dan mengurung mereka.
"Jangan coba-coba pengkhianat!" Ancamku pada amber sementara aku berlari melarikan diri. Lantai rumah licin oleh air membuatku harus berhati-hati menuruni tangga.
Aku mengumpat kesekian kali karena lantai marmer ini menghambat langkah ku.
Aku tidak akan membuat rumah yang seperti ini. Tidak akan!
Aku mempercepat langkahku karena suara Kimberly mulai terdengar. Menyambar kunci mobil di ruang tamu dan harus memekik kesakitan karena kelingking ku terantuk kaki meja.
"Bedebah!"
Meski dengan terpincang pincang aku tetap bersikukuh meraih pintu kebebasan yang melambai di depan mata. Tapi tentu saja. Karena Dewi keberuntungan selalu mengejekku aku merasa dunia kian melambat sejak derap kaki para jalang makin dekat.
"Fuck."
Langit masih gelap gulita saat aku sampai di depan rumah. Mobilku tidak sampai masuk di garasi karena mobil Amber memenuhinya.
Oh tentu saja aku sangat mencintai Cameron biru tuaku astaga.
"Datang ke mama sayang." Aku hampir bersorak gembira saat berhasil meraih handle pintu mobil dan bersiap meninggalkan para jalang itu pulang. Aku bahkan berencana langsung ke bandara dan memesan tiket di perjalanan. Persetan dengan wisuda yang tinggal menghitung jam. Aku tidak peduli.
Rencananya begitu. Iya hanya rencana. Sebelum aku sadar ada yang aneh dengan mobilku. Aku melongok dari pintu dan baru menyadari bahwa ban mobilku kempis.
"TERKUTUK KALIANNN!!!"