Belum seminggu sejak aku melakukan seks pertamaku tanpa Emily atau siapapun tahu. Dan hari ini adalah pengajuan sidang skripsiku. Sulit di percaya tapi Emily mengangguk saja ketika aku mengatakan lelaki tampan yang membawa meninggalkanku di pintu depan hotel karena pria itu bertemu dengan calon tunangannya. Entah, aku tidak tahu kenapa harus merahasiakannya. Yang jelas aku hanya ingin menyimpan kenangan semalamku dengan calon suami orang untuk diriku sendiri. Jadi Emily berlalu dengan seribu sumpahnya mengutuk pria panas itu dan bersumpah agar menggergaji penis pria itu jika mereka bertemu.
Aku hanya mengangguk dan meminta maaf pada pria itu dalam hati.
"Ah, sudahlah. Semua pria tampan memang bajingan. Bagaimana mungkin dia berharap menikmati malam dengan perawan saat tunangannya sedang menunggu dengan perut membuncit. Dasar jerapah!" Sumpahnya saat itu. Aku mengamini meski tidak tahu darimana gagasan hamil itu berasal.
Aku memeriksa lagi berkas yang sudah tertumpuk dan susun dengan rapi. Mengenakan gaun bermotif floral, Emily tampak manis dengan pita bewarna merah membingkai rambut pirangnya. Sejenak aku mengagumi selera berpakaiannya yang sangat fleksibel. Dia hanya mengenakan apapun yang ingin dia kenakan tanpa peduli musim apa sekarang. Gadis itu berlari kesana kemari, melihat kolong kursi, belakang pintu, atas lemari sampai aku menghela nafas keras.
"Aku lupa sepatuku." Cengirnya.
Aku memutar mata dan bangkit dari dudukku, menuju belakang tangga dan membawa sepatu bewarna pastel yang dia cari.
"Oww.. aku tak tahu bagaimana hidupku tanpamu. Kau akan pergi sebentar lagi, oh ayolah. Kau tetap bisa bekerja di sini dan tinggal bersamaku." Pintanya sekali lagi.
Aku mengabaikannya dan mengambil gaunku yang baru datang dari laundry. Ah ... Aku sangat menyayangkan gaun malam indah itu.
"Dan menjadi budakmu seumur hidup? Tidak. Terimakasih, aku tetap akan kembali ke jepang. Mom akan dengan senang hati mengikatku dengan simpul mati dan memasukkanku ke bagasi. Betapa kerasnya aku mencoba menetap di penthouse ini." Itu benar. Mommy ku akan murka jika aku tidak kembali. Kecuali dengan beberapa sebab. Hamil mungkin? Oh ... Shitt! Aku lupa membeli testpack.
"Ayo bergegas Emi. Waktu kita tidak banyak." Aku berjalan lebih dulu meninggalkannya yang mendengus keras.
Sidang berjalan cukup lancar, tanpa hambatan yang berarti kecuali harus merelakan 5 menit pertamaku karena telat menunggu Amber membeli secangkir. Kopi. Meski Emily menyumpahinya berkali-kali aku tetap berterimakasih mereka mau datang di saat terpenting ku. Yah. Meski tanpa dukungan merekapun aku pasti akan lulus.
"Kau tahu, Sakura bisa menjadi joki skripsi dan tetap tinggal disini tanpa harus menggeser pantatnya." Aku memutar mata. Anggapan dari mana itu.
"Kau pikir aku jauh-jauh kesini hanya untuk mendengar leluconmu?" Amber memukul kepala si pirang, dan aku sama sekali tidak masalah dengan itu.
"Kecuali kau mau menikahinya dan menjamin uang bulanan yang dia terima bisa membeli kapal pesiar mungkin kau akan di pertimbangkan. Kau tahu Emi, kau yang terburuk di antara kita semua."
"Jangan salahkan otakku!"
"Aku mengatai kemalasanmu!"
"Aku lebih rajin mencuci baju dari pada mantel bulumu!"
"Kau pikir siapa yang menggaris bawahi Thesis yang kemarin aku ajukan!"
"Bitch!"
"Donkey!"
Aku bangkit tanpa permisi dan meninggalkan mereka yang masih berdebat. Tidak ada gunanya.Melintasi koridor yang sepi aku melihat siluet yang tidak asing di ruang Kadet. Aku mencoba tenang dan melangkah tanpa menghiraukan. Tapi memang kaki ini memiliki otaknya sendiri. Aku berakhir dengan mengintip celah pintu yang tidak tertutup rapat. Dan di sanalah aku melihatnya.
Dia yang sedang duduk di dekat jendela, sambil memainkan bulpen di tangannya. Tidak salah lagi. Si pria satu malam ku.
Aku langsung bermanuver cepat menuju kantin, tanpa aku tahu kenapa aku merasa harus menjauhkan Emily dari nya. Sudah ku bilang kakiku punya otaknya sendiri.
Jadi saat Emily masih sibuk memandangiku dengan tatapan penasarannya aku kehilangan kata-kata ku.
Kaki sialan. Seharusnya aku berjalan biasa saja.
"Hantu."
Hanya itu yang ku katakan sebelum aku melenggang ke parkiran. Meninggalkan mereka yang berteriak entah apa maksudnya.