Aku tahu, aku memang bajingan. I knew that I born to be this. But ... Astaga Tuhan. Aku ingin kembali kepada-Mu sekarang, karena setelah Mingguku yang penuh ujian kau masih mengujiku disini.
Sekarang.
Dengan toga kebesaran dan gelar Cumlaude. Aku tahu, Kau pasti tidak akan membiarkan ini menjadi mudah.
Aku hanya mengangguk dan menggeleng tanpa benar-benar tahu apa yang di katakan Diora, wa look Liliana yang menginstruksikan apa apa yang harus aku lakukan karena briefing kali ini aku yang akan mewakili mahasiswa se angkatan.
Oh. Tentu aku sudah tahu, aku sudah mendapatkan bocoran kelulusan ku dari rektor ku yang paling ku sayangi. Terimakasih tuan Orochimaru. Yang menyatakan bahwa aku mendapat gelar terbaik mahasiswa se angkatan. Jadi aku bisa menyiapkan pidato perwakilan ku nanti.
Aku sudah menyiapkannya, sungguh. Ku tulis dengan format formal dan ku hafalkan semalam. Tapi sialan. Bahkan kata sambutan tak aku ingat sampai di kata panitia.
Apa yang harus aku lakukan Tuhan.
Aku blank. Dan dimana kertas sialan itu.
Tapi tentu jika kalian bertanya bagaimana mungkin gadis se sempurna aku bisa melakukan kesalahan seperti ini? Silahkan bertanya pada tuan yang melipat tangannya angkuh di depanku ini.
Sebelum kejadian dia menarik ku ke ruang kesenian dan menciumiku dengan brutal di sana, aku masih baik-baik saja. Kami memang bertemu. Ya. Aku cukup kaget meski aku sudah memprediksi hal ini mengingat dia orang yang sangat berpengaruh di Cambridge university yang terkenal ini. Pertemuan kami malam itu tidak akan menjadi yang terakhir. Jelas.
Tapi yang kubayangkan adalah, kami bertemu di podium sebagai donatur terbesar dan siswa terbaik. Tanpa banyak drama meski ada kekagetan. Aku rasa adegan seperti itu yang pas.
Tanpa drama.Tanpa tatapan setajam laser.
Tanpa tarikan dan kabedon di ruang kesenian.
Tanpa ciuman panas yang menggairahkan, shitt!!
Lihat? Betapa Tuhanku terlalu baik bagi hambanya yang terkutuk.
"Kau mendengarkan ku Sakura?"
Aku mengerjap bingung, kembali ke alam sadarku. "Ah, ya. Tentu. Kau tidak mungkin ku abaikan Debi, tapi aku punya masalah fokus hari ini. Bisakah kau mengulangnya?" Si rambut hijau memukul kepala ku dengan keras. Sialan ini sungguh sakit.
"Kau memang menyebalkan. Tidak heran James begitu memujamu. Kalian sama-sama dan sejenis."
"Oh ... Berhentilah cemburu seperti itu. Semua orang tahu bagaimana peristiwa bioskop legendaris karena mulutmu itu." Dia memelototi ku. Tapi masih tetap dengan baik memberitahuku step by step nya.
Dudukku mulai gelisah, perasaan seperti demam panggung. Telapak tanganku berkeringat dan telapak kakiku memukul lantai tanpa henti. Aku masih dapat mencium bau parfum pria itu di jarak hampir seperempat yard. Dia sama sekali tidak berkedip meski untuk menghalau lalat yang mungkin lewat di depan onyx yang menawan itu. Salah satu yang paling aku benci adalah saat dia mengangkat alis dan menyeringai. Oh. Tentu aku segera berpaling.
"Kau mengerti?"
"Ah, ya." Ku harap.
Debi menginjak kakiku kali ini. Aku buru-buru mengikuti kemana langkahnya saat dia merasa tidak memiliki urusan denganku. Persetan dengan tuan Uchiha yang terhormat.
"Aku tahu Deb, kau pasti membenciku karena masa lalu. Tapi aku sudah tidak bersama James, kau tahu."
"Kenapa kau terus membahas pria itu. Aku sudah selesai dengannya. Dan enyahlah Sakura, aku masih punya banyak urusan." Aku melirik ke arah sudut, mata itu terus mengikuti ku.
"Oh, ayolah. Aku rasa semua tidak se sederhana itu. Cinta dari bangku menengah atas tak mungkin kandas begitu saja kan." Aku mengambil alih kardus yang dia bawa.
"Apa yang mau kau katakan. Bahwa perasaan ku sia-sia? Kau jelas tahu bahwa kami masih 'sekedar' teman?" Aku merebut susunan acara yang dia bawa.
"Oh. Itu karena kau kurang brutal." Dia menendang tulang keringku. Sial, ini sungguh sakit.
"Dengar Sakura, aku sungguh sudah muak dengan segala omong kosong mu." Katanya sambil menunjuk hidungku. "Semua tahu kau mungkin sebrutal apa tapi camkan. Aku bukan kau!" Ulangnya keras sambil merebut kardus di genggamanku kemudian berlari keluar.
"Jadi ... Sebrutal apa seorang Sakura?"
Mataku melebar horor seiring dengan hembusan nafas di tengkukku. Aku menoleh dengan gerakan patah-patah nyaris kabur jika kakiku mau diajak bekerjasama. Sayangnya sudah kubilang Tuhan sudah muak denganku.
"Oh. Halo tuan Uchiha. Senang bertemu dengan anda. Bagaimana kabar anda hari ini?" Aku yakin tuan Uchiha pun akan memilih tidak mengenalku. Selain batasan profesional.
"Kita baru bertemu beberapa jam yang lalu jika kau lupa." Apa pula maksudnya orang ini.
"Ah, ya. Hari yang indah bukan?" Aku tertawa garing. Tuan Uchiha tampaknya tidak berminat menanggapi pertanyaan ku. Hanya mengangkat alisnya. Lagi lagi alis. Kenapa pula. "Jika tidak keberatan aku akan pamit Tuan, terimakasih sudah menolongku semalam." Jika dia menggangguku karena aku berhutang terimakasih, aku akan membayarnya dengan 1000 buket bunga.
"Kamu tidak menghubungiku?!" Oh.. kamu nanya?
"Kita tidak punya urusan sedalam itu tuan."
"Kau tahu kita punya." Lagi lagi alis itu naik tajam.
Aku menarik nafas. "Tenang tuan Uchiha, tidak ada hal gawat yang terjadi. Itu hanya pelajaran 1 malam. Aku tidak akan menuntut apapun. Kau akan menikah dengan tunangan mu tanpa drama apapun dariku. Oke." Aku memelankan kata-kataku. Tidak boleh ada yang mendengar. "Kau akan berjalan ke kanan dan aku ke kiri. Kita tidak akan terlibat apapun, dimanapun, sampai kapanpun. Jadi, jika kau disini membahasnya untuk menarik hutang terimakasih ku. Aku akan mengirimkan buket bunga terbesar yang bisa aku beli. Katakan saja di mana alamatmu." Aku serius untuk ini.
Aku segera berbalik untuk bersiap pergi. Dekat dengan orang semacam ini hanya akan membuat jantung tidak sehat dan terancam sinting. Cukup berurusan dengan Kimberly Irgan dan Emily Wildenster Aku tidak berniat mencari pembuat stress.
Niatnya begitu.
"Aku berubah pikiran." Langkah kakiku otomatis berhenti. Aku berputar dengan dramatisasi maksimal seolah kata itu lebih horor dari hantu manapun yang pernah ku temui.
"Apa maksudnya?"
Pria ini. Dengan enteng dia tertawa sadis. Aku mulai membayangkan orang ini aktor psikopat yang biasa aku tonton, mendekat kepadaku perlahan dengan langkah pasti seolah menemukan perburuan baru. Membuat tengkukku merinding. Sialan. Begini rasanya menjadi kelinci tak berdaya.
Jarak yang susah payah aku buat melibatkan pertikaian dengan Diora di kikis habis olehnya. Gema sepatunya semenakutkan itu hingga bisa ku dengar diantara hiruk pikuk orang disini. Membuat semuanya terlupakan seolah di dunia ini hanya aku dan dia yang menghuni.
"Kau bisa mentraktirku makan siang."
Sinting.
"Kau mempunyai tunangan tuan."
Aku ingatkan 1000 kali jika kau lupa.
"Kau sangat manis."
Bedebah.
"Aku tidak ingin menjadi pelakor."
Aku tidak ingin menyakiti orang lain. Terutama tunangannya.
"Aku akan menentukan apa yang aku mau."
Terserah saja aku akan kabur ke Jepang setelah ini.
"Terserah." Aku berpaling melarikan diri lagi. Tuhan semoga hari ini cepat berlalu.
"Teruslah berlari kelinciku." Dia mengatakannya dengan nada dalam yang menakutkan. "Aku akan menemukanmu. Lagi dan lagi."
Aku bisa membayangkan seringainya meski tidak melihatnya. Sialan.