Mirror

2.2K 114 5
                                    

Tokyo, 17 november 2017

Aku merapikan kemejaku yang kusut karena berlari mengejar lift saat kulihat pintu hampir tertutup. Masih dengan nafas terengah aku berusaha merapikan rambutku yang mendadak hari ini susah di atur. Mungkin aku bisa menjadikan ini aku terlambat kerja hari ini. Sejujurnya aku ingin pergi sejauh mungkin dari gedung pencakar langit yang berdiri angkuh seolah mengejekku. Namun tak bisa di pungkiri ada euforia tersendiri ketika melihat pantulan banyanganku di lantai marmer yang kupijak.

Perasaan ingin berbalik dan pergi memberikan surat pengunduran diri kepada siapapun yang kebetulan melintas di dekatku menguat. Kakiku gemetaran tanpa sebab. Terlalu berat untuk melangkah maju.

Nyaliku ciut dan pintu lift seolah melambai mesra padaku. Aku memejamkan mata dan memutar tumit sepatuku yang runcing dengan tergesa.

Berdoa dalam hati semoga tidak ada yang memanggilku, atau menyapaku atau bertemu dengannya.

Sepatuku mengetuk lantai di depan lift yang tertutup dengan tidak sabar. Inilah yang dinamakan ketika detik-detik mulai melambat. Aku menyesal menghina Emily karena drama kacangannya.

Suara lift yang berdenting membawa angin segar untukku. Baru saja aku akan melesak masuk, sebuah tangan menarik lenganku dan menggiringku ke koridor sepi. Bagaikan ponsel yang terkena virus. Otakku melambat untuk memproses siapa yang kini membenamkan bibirnya di bibirku. Menciumku penuh gairah dan membuat wajahku merona karena sesak nafas. Begitu tersadar aku menghirup nafas dengan rakus nyaris seperti ikan yang terlempar dari akuarium.

"Kau mengabaikanku." Katanya sambil membenamkan wajahnya di lekukan leherku. Menyematkan kecupan panas yang membuat semua wanita gemetar karena gairah dan kaki mereka seperti jelly. Sabaku Gaara memang ahli melakukannya. Sudah bukan hal tabu lagi mengingat bagaimana sepak terjang masalalunya. Meski pacar dua mingguku ini mengaku sudah menutup rapat kisahnya dahulu.

Wajahku memerah. Iya, juga gemetar. Tapi bukan karena gairah, karena aku tau bagaimana membedakannya.

Aku gemetar karena tatapan pria di seberangnya menghunus tepat ke emerald ku. Bagaimana kilatan emosi itu begitu nyata membakarnya. Membuat Sakura Haruno yang naif dalam percintaan sekejap mata menjadi ahli menafsirkan gerak-geriknya. Dan membawaku pada sensasi menyenangkan juga menyesakkan untuk yang ke sekian kali.

.
.
.
.

New York City,  25 februari 2015,

Aku sudah mengatakan pada Mommy bahwa setelah menamatkan pendidikanku aku akan pulang ke jepang. Kakakku, Haruno Tayuya akan bertunangan bertepatan dengan pesta penyambutanku. Aku senang. Tentu saja. Semua akan lengkap jika aku lulus dengan predikat Cumlaude dari Universitas Cambridge yang paling bergengsi ini.

Sejujurnya aku baru 16 tahun saat menamatkan strata satu ku ini.

Aku bisa katakan ini pada dunia bahwa aku berterimakasih pada Tuhan yang telah memberiku otak cemerlang. Ibuku bangga sekali saat aku mengatakan akan di wisuda tahun ini. Sebagai seorang single mother. Ibuku adalah pahlawanku.

Daddy meninggal saat aku masih berumur 3 tahun. Beruntung karena pekerjaannya sebagai pilot membuat kami tidak terlalu pusing dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Lagi pula kami bukan tipe orang yang senang membeli barang-barang branded yang harganya selangit hanya untuk menunjukkan kelas sosial. Bukan gayaku sekali.

"Kau sudah memikirkan gaun yang akan kau pakai di prom nanti?" Emily menatapku dengan sepotong sandwich di mulutnya. Gadis berambut coklat yang lebih tua 6 tahun diatasku itu mengambil susu cair dari kulkas dan meneguknya begitu saja. Aku mengerang dan membanting garpuku. Telur mata sapi setengah matang yang susah payah ku buat berubah menjadi sampah dalam sekejap. Aku mendelik ke arahnya tak terima.

"Kau melupakan gelasmu."

Tanpa rasa bersalah Emily menandaskan susu kotak bewarna putih itu dan meletakkannya di meja. Aku mengerang kembali sementara gadis itu meringis dan segera memasukkannya ke tempat sampah.

"Oh ayolah! Aku akan mengganti susumu setelah nanti kita berbelanja." Aku hanya memutar bola mata dan membereskan sarapanku yang kacau karena sekotak susu cair.

"Pergilah sendiri. Aku akan merampungkan halaman terakhir skripsiku." Aku berlalu kekamar meski tahu Emily akan mengekoriku hingga aku mengatakan ya. Menceramahi tentang pentingnya pesta prom. Dia mengulang-ulang kalimat menyesal dan menikmati masa muda hingga aku mulai berfikir bahwa Emily mencintai pemuda berambut mangkuk yang terus menggangguku karena merasa kami dari kampung halaman yang sama. Padahal jelas, Jepang dan China hanya dekat di peta saja.

Emily masih terus merecokiku dengan pemikiran supernya tentang sex dan pengaman. Aku hanya mendengus dan masih terus mengetik tanpa menggubrisnya. Persetan dengan status perawan.

Memang di sini budaya barat terlalu bebas jika aku ingin menafsirkannya. Bukannya aku terlalu polos hingga takut melepas keperawananku. Hanya saja. Aku merasa dari sekian banyak lekaki yang kutemui di dunia ini. Tidak ada yang bisa membuatku benar-benar bergairah. Mereka menyenangkan. Sebagai teman ngobrol. Sebut saja James, Peter, Nathan dan sederet pria yang mencoba mendekatiku.

Aku terkadang mulai berpikir bahwa ada yang salah dengan diriku atau yang lebih parah orientasi seksual ku menyimpang. Tapi sejauh aku berteman dengan Emily, juga masa pendekatanku dengan sederet pria yang coba di sodorkan temanku. Aku tidak merasakan apapun. Hambar.

Kimberly bahkan sampai menjulukiku biarawati hanya karena aku tak pernah menyentuh pria lebih dari ciuman di saat dia bisa melakukan cinta semalam dengan banyak pria. Aku tidak peduli sejujurnya. Mungkin saja mereka bukan tipeku. Entahlah.

Emily mulai berulah dengan sengaja menghubungi serangga pengganggu yang berada di kubu 'penyelamat masa muda Sakura' lewat telepon dan mendramatisir keadaan dengan mengatakan aku sudah bosan pada pria. Yang jelas itu tidak benar.

Aku membaca ulang lembaran skripsi yang telah ku tulis dan memastikan tidak ada typo dimanapun. Setelah yakin skripsiku akan lolos aku menutup laptop dan mendesah lelah.

"Aku hanya tidak akan pergi dari kamarku untuk menemanimu berbelanja seperti yang kau katakan. Jangan berlebihan." Tegurku.

Tapi Emily tetaplah Emily. Dengan bersikeras dia menarikku bangkit dan mendorongku ke walk in closet tanpa mau mengindahkan protes dariku. Aku mengerang sekali lagi. Hanya karena aku yang termuda dan lingkungan sosialnya benar-benar memperlakukannya tidak adil.

"Aku tidak mau tau. Kau harus tampil cantik malam ini. Ini malam prom pertama dan terakhirmu jika sidangmu berjalan mulus. Aku tidak akan memaafkanmu sampai kau menolaknya!"

Sakura hanya mendecih malas dan menyambar asal kaos di tumpukan teratas.

Lagi pula apa pengaruhnya tampil cantik atau tidak. Toh dia tetap di kenal sebagai Haruno Sakura dari Jepang yang eksotis.

.
.
.
.
.

Tbc. Kali ini aku mau bikin fic yang ringan saja.

Secret Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang