Cambridge University, Dome RoomKaki jenjangku melangkah mengetuk lantai marmer di pintu gerbang aula utama. Banyak mata yang mengikuti kami sepanjang jalan menuju pintu gerbang. Mungkin tatapan itu untuk Emily dan Kim. Sepertinya. Atau Amber. Yang jelas itu bukan untukku.
Aku melangkah dengan berani sambil mengangkat dagu ku angkuh. Keajaiban mantel bulu ini menakjubkan. Aku merasa lebih percaya diri dengan penutup dadaku. Meh. Persetan.
Satu persatu kami melangkah masuk ke ruangan aula yang di jaga dua panitia prom. Aku mengenalnya. James dan Launter. Keduanya pernah mencoba mengajakku berkencan. Aku meninggalkan James di bioskop saat film tengah di putar. Dan Launter. Pria Prancis itu cukup menyenangkan dan peka untuk tau ketidaknyamanan ku dan memutuskan mengantarku pulang setelah menjelaskan panjang lebar tentang ogli olio.
Siapa yang perduli.
Kim menyerahkan undangan dengan kedipan mata pada James dan di balas hal yang sama oleh pria berambut coklat. Aku setidaknya bersyukur berada di barisan paling belakang. Setidaknya Amber tidak terlalu gila untuk menggoda mereka.
Launter menerima undangan ku dengan wajah bersemu.
"Senang melihatmu Sakura. Menakjubkan kau bisa berada disini."
Aku tertawa dengan anggun. "Ya. Hari terakhirku. Kurasa."
"Kau lulus tahun ini?" Aku mungkin akan merasa tersinggung jika ini bukan Launter. Tapi mantel menakjubkan ini membuat suasana hatiku baik dan aku tidak peduli dengan nada tak percaya dan berkesan meremehkannya. Aku tahu. Bukan itu maksud Launter.
"Ya. Hanya jika sidangku lulus. Kau tampak lebih tampan dari terakhir kali kita bertemu." Aku membicarakan tuxedo yang di kenakannya. Benar. Pakaian yang baik memang membuat pesona berlipat ganda.
"Terimakasih. Kau juga pasti menakjubkan." Dia memainkan alisnya. "Di balik mantelmu."
Launter dan mulut berbisanya. Aku memukul dadanya ringan. Dan dia meringis dengan berlebihan. Membuatku semakin bersemangat mencubit lengannya ganas.
"Sakura! Kau menyakitiku."
Aku mengacungkan jari tengahku. Tidak akan ada yang bisa merusak kebaikan mantel buluku.
James hanya meringis melihat kami. Sepertinya peristiwa di bioskop cukup membuatnya trauma.
"Aku harap kau tidak keberatan mengenalkan ku pada temanmu."
"Kim? Oh tentu. Setidaknya dia tidak akan meninggalkanmu di bioskop." Aku menyeringai.
"Kau memang brengsek Sakura." Dia tertawa. Sama sekali tidak ada nada marah dalam suaranya. "Ku harap aku lebih beruntung."
"Tentu. Tempat tidur menakjubkan adalah keberuntungan."
Dia mendorongku ke pintu masuk. Tampaknya lebih gugup dari pada diriku.
Tapi sebelum aku tertelan pintu aku yakin mendengarnya bergumam tentang pantat dan kakiku lalu mengumpat.
Apa yang salah?
Aku merasa ingin ke kamar mandi menatap cermin dan melihat apakah ada yang menempel di balik pantatku.
Permen karet? Atau prank?Tanpa sadar aku meraba lekukan pantatku dan semua melihat kearah ku seolah aku jalang yang menggoda penis para pria.
James sialan.
Untuk kali ini aku berterimakasih pada Emily yang datang menyelamatkanku. Dia dengan lembut menggandeng lenganku. Membawaku dari kerumunan pejantan yang lapar.