#1 Cimenong

4.5K 392 89
                                    

Cerita ini mengandung muatan LGBT, dengan perspektif seorang laki-laki homoseksual. Jika cerita dengan topik tersebut tidak membuat Anda nyaman, dipersilakan untuk meninggalkan cerita ini.

...

- Dinten Kahiji -

Ketika aku tiba di belokan terakhir, hujan deras turun. Jutaan tetes air menabuh kap mobilku, mengalahkan Top of the World-nya Carpenters dari pemutar lagu. Aku menaikkan volume hingga maksimal, berperang dengan bising hujan deras yang muncul tiba-tiba. Jalanan sungguh sepi. Hanya mobilku yang melaju di jalan beraspal gelap dan licin ini.

Pukul 13.45.

Seharusnya dalam lima menit aku sudah tiba di Desa Cimenong, Kabupaten Cianjur. Desa ini terisolasi dari desa lain di sekitar. Dipisahkan oleh kompleks persawahan, sebuah bukit yang menjadi salah satu kaki dari Gunung Pangrango, dan areal hutan berpohon tinggi. Menurut mbak kasir Indomaret yang kukunjungi sepuluh menit lalu, kalau aku sudah bertemu dua pohon beringin besar di kanan-kiri jalan, berarti aku sedang melewati gerbang masuk Desa Cimenong.

Aku baru saja melewati bukit-bukit tinggi hijau yang dingin. Di kanan-kiriku hanyalah pepohonan tropis besar yang kaku. Air hujan menembus rimbunnya dedaunan, sehingga di mana-mana basah. Aspal yang kususuri berwarna lebih gelap oleh air. Setidaknya aku bersyukur, jalan menuju Desa Cimenong sudah dilapisi aspal.

Hingga lima belas menit kemudian, aku masih belum bertemu dua pohon beringin itu. Malah mobilku sempat tergelincir kecil ke luar jalur gara-gara kukira ada anak harimau.

Setelah wiper mobil membersihkan titik-titik air, ternyata yang kulihat adalah segunduk dedaunan basah yang menumpuk agak ke tengah jalan. Aku menarik napas setelah menenangkan jantung yang berdebar, kemudian melanjutkan perjalananku.

Tak lama dari lokasi itu, kulihat dua pohon beringin di kejauhan. Pohonnya sangat besar, tak mungkin siapa pun melewatkannya. Pohon itu berdiri di tengah-tengah lapang rumput kecil yang sunyi. Saling berhadapan. Saling menyambut siapa pun yang akan masuk.

Dan, di titik itu pula, aspal berhenti.

Permukaan jalan menuju desa setelah pohon beringin nyatanya sebatas tanah merah biasa. Tanah merah yang basah, berlumpur, dan berlubang di mana-mana. Genangan-genangan air menyambutku di sepanjang jalan, sehingga aku harus menurunkan kecepatan sambil bermanuver menghindari lubang.

Aku bersyukur saat menemukan beberapa rumah warga di kanan-kiri jalan. Kukira aku akan berakhir di tengah hutan antah berantah dan tersesat selamanya. Rumah-rumah itu sederhana. Setengahnya berdinding kayu dengan halaman luas yang tak berumput. Tak ada orang berkeliaran di sekitar rumah-rumah itu, meski aku tahu ada orang di dalamnya—karena lampu menyala. Mungkin karena hujan deras, mereka memutuskan untuk diam di dalam.

Perjalananku harus terhenti di sebuah tebing yang dialiri air dari atas. Seperti air terjun. Satu tebing tinggi di sebelah kiriku, satu tebing curam ke bawah di sebelah kananku. Dari tebing kiri ada aliran air yang jatuh seperti air terjun, membasahi jalan tanah merah yang harus kulalui. Aliran air itu mengalir ke tebing sebelah kanan, jatuh lagi menjadi air terjun ke bawah. Entah ke mana.

Apa aku perlu melewati aliran air itu? tanyaku dalam hati. Enggak besar sih arusnya. Harusnya mobilku bisa melewatinya dengan mudah. Namun permukaan jalan yang berlumpur membuatku ragu.

....

Sudahlah, bablas saja.

Aku menginjak pedal gas pelan-pelan, berancang-ancang untuk melaju cukup kencang melewati aliran air itu. Namun belum juga aku melompat—

KerkhovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang