#8 Gemeenschap

1.9K 291 139
                                    


- Dinten Kasapuluh –

Malam ini, aku meminta Dian untuk datang ke kamarku.

Bukan. Bukan untuk mengaku bahwa aku memotretnya diam-diam, bukan untuk memintanya berpose agar aku bisa memotret lagi, bukan pula untuk melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Aku tetap merasa perlu menceritakan soal apa yang kualami kepadanya. Pun untuk memberi tahu bahwa kemarin aku mencoba menemuinya, tetapi dia sedang tidur. (Barangkali CCTV mengira aku sedang akan kabur dari kamarku.)

Rencananya aku ingin menemui Dian sejak pagi, tetapi hari ini hujan mengguyur Desa Cimenong sepanjang hari. Aku mencoba menelepon melalui telepon tua itu, tak ada yang mengangkatnya. Kucoba Whatsapp Pak Munarman, sampai sore belum dibalas juga. Melalui Whatsapp, Dian sepakat untuk datang ke kamarku pukul delapan malam. Katanya, dia harus melakukan sesuatu di desa begitu hujan selesai. Jadi, aku menghabiskan waktu yang kupunya untuk menyelesaikan artikelku saja.

Pukul tujuh malam, pintu kamarku diketuk.

Hujan sudah lama berhenti. Bahkan sebelum magrib, sudah tak ada air menetes dari langit. Namun ketika kubuka pintu, Dian tampak basah kuyup. Dia tersenyum manis sambil mengacak-acak rambutnya yang kini basah.

"Maafkan. Tadi di jalan hujan," sapanya.

"Oh. Gapapa. Bentar, saya ambilkan handuk, ya."

Ini bukan pertanda bagus. Ternyata Dian yang basah kuyup tampak lebih seksi. Kepalaku langsung memutar memori pada hari pertama tiba di desa ini. Ketika aku berjalan membuntuti Dian di bawah hujan deras, lalu aku mengamati setiap titik air menempel di permukaan kulitnya.

Dian masuk ke kamar mandi untuk mengelap kepala dan tubuhnya dengan handukku. Ketika keluar, Dian sudah telanjang lagi, dengan sehelai handuk melilit di pinggangnya. Tubuhnya lembap, rambutnya masih basah. Dan aku sudah mengantisipasi hal tersebut dengan menyiapkan bajuku untuk dia pakai. Kuhamparkan di atas tempat tidur.

"Pakai baju saya aja, Mas. Gapapa," kataku, memunggunginya sambil pura-pura sibuk dengan ponsel. Padahal aku sedang menghindari visual sosok jantan yang indah itu.

"Cukup emang?" tanyanya. Aku tidak menjawab pertanyaan itu.

Ternyata, tak ada yang cukup. Semua bajuku kekecilan di tubuh Dian yang besar dan jangkung. Selain tubuhku lebih kecil dari Dian, aku juga gay. Yang berarti semua pakaianku ngepas badan. Bukan baju-baju longgar yang sering dikenakan cowok straight.

"Saya pakai baju saya yang di sebelah saja," ujar Dian sambil berjalan ke arah pintu. Kemudian, dia berhenti. "Saya baru teringat. Semua baju saya sudah diambil Nunung untuk dicuci."

Dia berbalik. Mengangkat bahunya bingung.

"Mungkin saya seperti ini saja," katanya, tetiba duduk di sofa panjang. "Tidak apa-apa kan, Pak?"

Aku membelalak kaget. Tentu saja apa-apa, batinku. Karena nanti aku jadi terangsang lagi. "Enggak apa-apa, Mas." Aku mencoba tersenyum dan berbalik ke arah Dian.

Tak dapat kupungkiri, Dian semakin memesona. Dia duduk di atas sofa dengan manis. Kedua tungkainya agak membuka sedikit, layaknya laki-laki kalau duduk pakai celana. Namun karena dia mengenakan handuk, kepalaku jadi fokus ke apa yang ada di antara paha itu.

Tidak, Rizki. Tidak boleh. Dan tidak bisa juga pakai ponsel untuk memotret apa pun di sini.

"Jadi, Pak Rizki ingin bercerita soal apa?" tanya Dian, serius.

Aku mencoba menguasai diriku sendiri. Sebisa mungkin aku menatap wajahnya. Bukan ke dadanya, bukan ke perutnya, bukan ke selangkangannya. "Soal ... soal sejarah rumah ini."

KerkhovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang