#12 Magajizn

1.6K 297 27
                                    


Tentu saja aku terbangun dalam keadaan terikat.

Aku merasakan pusing teramat sangat di dalam kepalaku. Sehingga, ketika aku sadar, aku masih belum sanggup membuka mata. Aku hanya mengerutkan wajahku ke dalam, mencoba menahan rasa sakit tersebut. Lama kelamaan, rasa pusing itu memudar. Aku bisa membuka mataku perlahan-lahan.

Pupil mataku langsung menyesuaikan dengan pencahayaan yang minim. Tampaknya hari mulai memasuki malam. Kulihat ada noda cairan di kausku, tepat di bawah leher. Mungkin aku dicekoki sesuatu ke mulut—entahlah. Karena, perutku terasa agak mulas.

Aku berada di kamarku. Tanpa ilusi. Aku diikat ke sebuah kursi besi menggunakan tali rafia. Ikatannya cukup kencang, meski menurutku sia-sia karena aku bisa berontak dengan sangat kuat agar talinya putus. Apalagi tali ini diikatkan ke kursinya juga. Kursi besi yang mulai keropos.

Aku berada di dinding kamar yang menempel ke balkon.

Oh, balkon itu tak ada.

Ketika aku menengok ke luar, ke tempat yang seharusnya balkon, di sana hanya ada teras bertegel yang sudah dipenuhi rumput. Tak ada pagar, tak ada pot tanaman, tak ada meja dan kursi untuk minum teh. Yang ada malah rumput dengan bebungaan kuning yang bunganya sempat Dian bawa masuk ke dalam kamar.

Aku kembali memindai seisi kamar.

Tak ada siapa-siapa di dalamnya. Tak ada manusia, tak ada hantu. Hari mulai gelap. Azan magrib bersahut-sahutan di luar sana. Kusadari ada satu jalur basah dari pintu masuk kamar ke pintu kamar sebelah. Seolah-olah seseorang mengepel lantai, tetapi hanya di jalur antar dua pintu saja. Sisanya tetap kotor dan berdebu.

Eh, bukan. Kurasa itu bukan pel.

Kurasa seseorang menggeret sesuatu yang berat dan basah melewati kedua pintu itu, meninggalkan jejak.

Aku mencoba melepaskan diri dari ikatan tali rafia itu selama sepuluh menit. Sampai talinya benar-benar tipis karena tertarik, tetapi tali itu tak putus juga.

Yang mengikatku benar-benar bodoh. Tak bisakah dia menggunakan tali tambang saja?

Aku tak bisa melanjutkan pemberontakan di atas kursi, karena pintu kamarku terbuka. Nunung masuk sambil menarik sesuatu di dalam kantung plastik besar. Dia tampaknya kelelahan menarik benda itu, makanya dia meninggalkan jejak basah antara dua pintu.

Nunung mengabaikanku. Dia melihatku sebentar dengan tatapan bengis, lalu berlalu begitu saja ke ruang sebelah. Dia menyimpan sesuatu di sana, untuk waktu yang cukup lama. Kugunakan kesempatan ini untuk mendorong tubuhku sekali lagi, menjauhi sandaran kursi. Aku mencoba mengoyak ikatan rafia yang mulai menipis dengan sisa tenaga yang kupunya. Rasanya perih sekali. Rasanya seperti ada kawat-kawat tipis yang mencoba mengikatku di seluruh tubuh.

Tasss!

Satu tali berhasil putus!

Kebetulan, tali itu tadinya mengikat lengan atasku. Jadi, aku bisa mengeluarkan kedua lenganku—meski susah payah—dan akhirnya mengeluarkan tubuhku dari seluruh ikatan itu.

Sayangnya, aku tak menyadari ....

... Nunung sudah berdiri di sampingku dengan sebuah sekop besi besar di tangan.

Ketika aku mengeluarkan kakiku yang terikat ke kaki kursi, Nunung melayangkan sekop itu. Aku sempat menyadarinya beberapa milidetik, sehingga aku membungkuk untuk menghindar. Namun sekop itu tetap mengenai tubuhku.

DONG!

"AAARGH!" Sekop Nunung mengenai pundak dan punggungku. Rasanya perih seperti diperas. Aku tersungkur ke atas lantai dengan satu kaki masih terikat ke kursi. Jadinya, kursi itu ikut jatuh bersamaku.

KerkhovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang