#9 Geestesziekte

1.7K 299 105
                                    


- Dinten Kasabelas –

Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Yang kutahu, aku terbangun keesokan paginya dengan tubuh lebih segar. Kali pertama membuka mata, aku langsung melihat langit-langit tempat tidurku yang disaungi kelambu. Napasku teratur, tubuhku bergelung dengan nyaman di bawah selimut. Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui kaca jendela yang tirainya disibak lebar-lebar.

Aku langsung waspada. Kupandangi area di mana aku melihat empat belas sosok hantu itu berdiri menatapku. Kuraba perlahan-lahan dengan tanganku, area di mana laki-laki berkumis itu baru saja menggagahiku dalam bentuk Dian.

Lalu, aku menoleh ke arah balkon. Di luar sana, Dian sedang melakukan sesuatu dengan salah satu tanaman.

Aku bangkit duduk. Kudapati tubuhku masih telanjang bulat sisa bercinta dengan sosok itu. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, lalu Dian pun masuk ke dalam sambil membawa beberapa kuntum bunga berwarna kuning. Aku tidak tahu ada bunga kuning di sana. Terlihat seperti bunga liar yang tumbuh di rerumputan.

"Eh, udah bangun, A?" sapa Dian ramah. Senyumnya manis dan lebar seperti semalam. Namun yang ini terasa lebih hangat. "Pusing enggak? Atau mual?" Dian mengganti bunga di dalam vas meja dengan bunga yang baru. Kemudian dia menyodorkanku air putih untuk diminum.

"Kamu ... kamu bukan—"

"Bukan," jawabnya. Dan dia tersenyum lagi.

Aku masih ragu untuk menerima sodoran air minum itu. Jadinya malah kupandangi saja air di dalam gelas.

"Tenang aja , A. Saya bukan jurig, da." Dian terkekeh akrab. "Ini minum dulu. Takutnya Aa dehidrasi."

Aku ingat betul Dian tak pernah memanggilku selain dengan sebutan Aa. Kuputuskan bahwa Dian di depanku ini Dian yang asli. Jadi, kuambil gelas dan kuteguk sampai habis.

"Ada pusing-pusing enggak? Mun ada, entar saya beliin Panadol. Mau?" tawar Dian sambil meletakkan gelasku ke atas meja. Dia juga mengambil sepiring nasi goreng hangat yang entah kapan dimasaknya.

Aku menggelengkan kepala. "Kenapa Mas jawab 'bukan'?" todongku. "Kenapa Mas langsung bahas jurig?"

"Makan dulu. Nanti saya cerita. Tenang ." Dia tersenyum lagi.

Aku menerima sodoran nasi goreng itu meski agak ragu. Kusuap dua kali seraya Dian membereskan sesuatu di sofa panjang. Sehelai selimut. Dian melipat selimut itu, merapikan bantal, lalu meminggirkannya ke ujung sofa.

"Semalam téh saya tidur di sini. Gapapa kan, A?" tanyanya.

Aku mengangguk, masih mengunyah nasiku.

"Aa enggak saya apa-apain, kok. Sumpah." Dia bahkan menunjukkan satu tangan yang jemarinya membentuk huruf V.

"Jam berapa sekarang?"

Dian melihat ponselnya. "Masih jam setengah delapan, A. Nanti setelah ini, kalau Aa mau bobo lagi, mangga A. Cuma saya mah yakin Aa pasti pengin nanyain banyak hal ke saya. Bener teu?"

Aku mengangguk.

"Saya enggak bisa nyembunyiin lagi rahasia soal kamar ini, A. Maaf pisan ini mah mun Aa jadi keganggu gara-gara ditempatin di sini. Tapi kamar ini téh memang ... gimana, ya A ... ya gitulah."

"Semalam Mas datang jam berapa?" tanyaku, sambil melanjutkan menyantap nasi goreng.

"Saya datang jam sebelas sesuai janji saya. Sebenernya saya téh pengin langsung datang seudah saya nelepon, tapi saya beneran enggak bisa ninggalin rumah tetangga saya itu. Mereka lagi berkabung jadinya saya perlu bantuin mereka meringankan beban, kayak bantu salatin, bantu kafanin, gitu-gitulah."

KerkhovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang