#7 Leger

1.7K 289 43
                                    


- Dinten Kasalapan –

Kurasa memang ada yang salah dengan kamar ini. Kurasa aku tak boleh menyepelekan probabilitas bahwa ruangan ini berhantu, percaya atau enggak percaya.

Aku enggak percaya pada hantu. Film horor juga bukan genre favoritku. Namun dengan semua yang kualami, sebelum ada penjelasan ilmiahnya, aku harus memasukkan kemungkinan bahwa sesuatu dari dunia entah di mana mencoba berkomunikasi denganku.

Apa aku takut? Ya. Namun aku bukan takut pada hantu. Aku takut pada ketidakpastian. Aku takut pada ketidaktahuan. Aku takut pada apa yang bersembunyi dalam gelap, bukan gelapnya itu sendiri. Aku sudah mencoba bersikap tenang menghadapi segala jenis penampakan yang muncul akhir-akhir ini. Kalau perlu, aku menunggu kehadiran mereka agar kami bisa duduk bareng. Akan tetapi, sepanjang makan siang, tak ada penampakan apa pun.

Balkon sepi. Kursi panjang itu tidak diisi dua perempuan bergaun putih seperti kemarin.

Apa aku stres gara-gara karantina ini?

Salah satu temanku pernah membuat konten Efek Samping Karantina Akibat Pandemi. Dia menulis soal halusinasi. Entah tulisan itu ilmiah, atau dia comot dari sana-sini melalui pencarian Google. Namun saat ini, aku perlu mempertimbangkan pilihan itu. Bisa jadi aku hanya berhalusinasi saja. Kurangnya sosialisasi, ruang gerak, makanan bergizi, atau terlalu kentalnya aroma serai di ruangan, membuatku melihat hal-hal yang sebenarnya tidak nyata.

Pertanyaannya, mengapa selalu sosok yang sama yang muncul di depanku? Secara konsisten mengenakan baju yang sama, melakukan aktivitas yang sama, memengaruhi mimpiku .... Apa memang halusinasi bekerja seperti itu?

....

Pukul satu siang kuputuskan untuk mengunjungi Dian di kamar sebelah. Aku tak peduli jika aku melanggar aturan karantina. Aku perlu mengobrol dengan seseorang untuk menyampaikan apa yang terjadi kepadaku. Bahkan jika ini hanyalah halusinasi, Dian bisa meminta pertolongan medis, misalnya membawaku ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter atau psikiater misalnya.

Kuketuk pintu kamar Dian beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Lorong tempatku berdiri mulai terasa menyeramkan. Lorongnya gelap, sepi, dan panjang sekali. Jadi aku mengetuk agak galak ke pintu kamar Dian.

TOK, TOK, TOK!

Apa Dian tidak sedang di kamarnya?

TOK, TOK, TOK—

Pintu kamar tiba-tiba terbuka kecil. Aku tak tahu sekencang apa aku mengetuk sampai-sampai kenop bisa berputar sendiri dan membukakan pintu. Namun aku memanfaatkan kesempatan itu untuk melongokkan saja kepalaku ke dalam.

"Mas ...?" panggilku.

Dian ada di dalam kamarnya. Namun, dia sedang tertidur. Dengan sepasang headphone belel menangkup kedua telinganya, melantunkan musik entah apa.

Ruangan itu lebih kecil dari kamarku. Tempat tidur ukuran single menempel di satu tembok, dan di seberangnya ada meja maupun kursi. Lemari kaca tua berdiri di dekat pintu ke kamar mandi. Nyaris tak ada apa pun lagi di ruangan ini kecuali tumpukan pakaian kotor Dian, pun yang digantung di belakang lemari. Aroma kamarnya seperti aroma laki-laki. Maskulin dan creamy.

Aku merindukan aroma natural seperti ini. Bukan aroma lemongrass yang menyengat. Ditambah kehangatan yang rasanya berbeda dibandingkan kamarku. Seolah-olah di ruangan ini ada heater khusus untuk membuat kamarnya bersuhu lebih normal.

Dian ada di atas tempat tidurnya, berbaring dengan kedua tangan dilipat di belakang kepala. Matanya terpejam pulas. Mulutnya menganga sedikit, tampak tak berdaya. Pantas saja dia tak mendengar semua ketukanku di pintu.

KerkhovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang