Aku menyukai Matematika. Sejak kecil aku sangat suka berhitung dan menyelesaikan masalah angka. Baik itu sederhana ataupun sulit, rasanya seperti mendapatkan kepuasan batin ketika aku bisa melakukannya.
Semakin sering aku menjawab perhitungan-perhitungan yang tidak bisa dilakukan oleh anak lain, semakin sering pula orang dewasa memujiku. Seperti mendapat pengakuan kenapa aku bisa berpikir begini aku menerimanya dengan hati terbuka.
Setiap kali seseorang menyebutku pintar atau jenius aku semakin percaya diri dan sangat-sangat menyukainya. Tapi aku ingat satu hal, orang yang mungkin lebih hebat dariku selalu ada. Seperti misalnya berlari, sahabatku Ana selalu lebih cepat dibandingkan siapa pun di antara anak-anak lainnya.
Atau seperti Cia, yang selalu bisa memimpin kelompok meski usia kami masih sama. Lalu, anak-anak lainnya juga sama, memiliki kelebihan masing-masing yang tidak mungkin aku bisa miliki.
Ketika memasuki SMP, aku bertemu dengan anak-anak lain yang juga pandai dalam bidang Matematika. Hal itu membuatku terkejut, bahkan aku hampir tidak bisa menerimanya.
Aku yang menyukai Matematika merasa tidak ingin kelebihanku satu-satunya direbut oleh orang lain, aku pun belajar lebih keras dari siapa pun. Mengikuti pelajaran lebih dari siapa pun. Sampai akhirnya satu per satu teman di kelas menatapku dengan aneh–mereka mulai membenciku.
Sampai upacara kelulusan aku selalu dikucilkan di kelas karena menurut mereka aku terlalu berlebihan dalam mengejar sesuatu. Tapi Matematika adalah sesuatu yang aku tidak ingin kalah dari orang lain!
Biarpun semuanya membenciku, aku tidak peduli.
Tapi, Ana dan Cia berbeda. Mereka tidak memandangku dengan aneh. Dua sahabatku itu malah memuji tindakanku yang bagi sebagian orang berlebihan. Mereka tetap tersenyum seperti biasa, mengajakku bicara seperti biasa. Mereka adalah sahabat yang tidak mungkin bisa tergantikan.
Baik Ana maupun Cia, mereka itu konyol. Tetapi, aku menyukai mereka seperti aku menyukai Matematika. Bahkan kami sempat membuat janji ketika ingin memasuki SMA yang sama.
Janji kita, ya. Kalau suka sama seseorang jangan dirahasiain, harus kasih tau yang lain!
Itulah yang Cia katakan dan malah menjadi janji kami bertiga. Aku pikir tidak mungkin ada seseorang di SMA yang bisa aku sukai kecuali mereka berdua. Namun, hari itu ketika cowok pemalas itu datang menjadi bagian keseharianku, semua yang awalnya aku pikir mustahil perlahan runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Anak Kucing dan Kukang Pemalas
JugendliteraturSibella, si jenius matematika. Lebih mengedepankan logika dibandingkan perasaannya. Berjanji akan mengatakan siapa yang dia sukai kalau memang ada pada dua sahabatnya. Havana, pelari atletis. Gadis yang berpikiran pendek dan gampang terbawa arus. Me...