1. Sibella dan Matematika
Tidak masuk akal! Aku ingin mengumpat seperti itu. Hanya karena mendapatkan nilai tinggi di Matematika, Bu Dina malah memintaku mengajari seseorang yang katanya berpotensi tinggal kelas.
Bukan urusanku!
Lagian, kenapa juga aku harus mengajari orang yang tidak ada niatan untuk belajar? Dari skala 1 – 10 tentang siswa terburuk dia mendapatkan poin 10, bahkan bisa lebih.
"Sudah jam berapa?" tanya cowok yang masih membenamkan wajahnya di atas meja.
"Kamu boleh pulang kalau sudah menyelesaikan tugas Bu Dina. Ayo selesaikan." Aku menatap kertas soal yang belum dia sentuh sedikit pun. Sudah 30 menit berlalu semenjak kami memulainya.
Hanya kami yang tersisa di kelas ini. Jam dinding di atas papan tulis sudah menunjukkan pukul 5 sore. Gara-gara dia juga aku tidak jadi pulang bersama Ana dan Cia, menyebalkan!
"Kalau gitu aku bakalan nunggu satpam ngusir kita," sahutnya mengangkat separuh tangan.
Aku menghela napas sebentar, itu adalah caranya berhasil lari kemarin. "Tidak akan terjadi, Bu Dina sudah bilang kalau kamu harus menyelesaikan tugas ini mau sampai jam berapa pun selesainya."
"Sampai malam?"
Aku mengangguk, tapi dia tidak mungkin melihatnya, 'kan?
"Kalau gitu kita bakalan di sini sampai besok. Enggak, mungkin kita bakalan terus di sini sampai pingsan."
Aku sedikit terkejut dengan kata-katanya. Meski nada suaranya kurang bersemangat, dia terdengar serius. Tidak, mana mungkin dia tak mengerjakannya, 'kan?
"Apa kamu tidak ada niatan mengerjakannya?"
Dia mengangkat jempol sebagai jawaban. Terburuk, dia benar-benar cowok terburuk yang pernah aku temui!
Lampu di ruang kelas menyala. Dari jendela aku bisa melihat kalau hari sudah semakin gelap. Samuel–cowok itu–memang tidak ada kemauan untuk mengerjakan tugasnya.
"Kenapa kamu nerima tawaran Bu Dina buat ngajarin aku?"
Dia tiba-tiba bertanya, membuatku sedikit bingung harus menjawab apa. Sejujurnya aku juga tak ingin melakukan hal ini. Hanya saja permintaan Bu Dina terlalu sulit untuk ditolak. Lebih tepatnya, aku tidak berani menolak.
Kesunyian tiba-tiba menyelimuti kami setelah sama-sama bungkam. Bunyi detak jam terdengar setiap detik, hanya itu suara yang menemani kami dalam keheningan aneh tersebut.
Sampai Samuel mengangkat lagi kepalanya, dia mendengkus kesal. Entah karena apa.
"Kalian benar-benar keras kepala. Jujur aja aku enggak mau lakuin ini." Samuel mengeluarkan pulpennya dan melihat ke arah kertas dengan mata sayu tanpa minat.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Anak Kucing dan Kukang Pemalas
Novela JuvenilSibella, si jenius matematika. Lebih mengedepankan logika dibandingkan perasaannya. Berjanji akan mengatakan siapa yang dia sukai kalau memang ada pada dua sahabatnya. Havana, pelari atletis. Gadis yang berpikiran pendek dan gampang terbawa arus. Me...