Jam terus berdetak, berulang-ulang memasuki telingaku. Lampu kelas sudah menyala, tetapi Samuel belum juga menyelesaikan tugas hari ini. Dia masih di sana, terus menguap sambil memandangi kertas yang tidak tercoret sedikit pun.
Aku mengembuskan napas berat. "Kapan kamu mau mengerjakannya?"
"Besok," dia membalas dengan cepat, "atau mungkin besoknya lagi."
Itu jadi jawaban kesepuluh yang sama keluar dari mulutnya sepanjang sore ini. Padahal kemarin dia baru saja menghadapi keganasan Bu Dina, tetapi malah tak terlihat pengaruhnya sama sekali.
"Ini sudah jam 5 lewat, apa kamu mau lebih lama ada di sekolah?"
"Bukannya kita?" Dia mengoreksi.
Aku menghela napas lagi, fakta tak terbantahkan itu baru saja melesat dari mulut Samuel dan langsung menancap kuat di telingaku. Dia tetap menyebalkan, sampai-sampai aku hanya bisa pasrah ketika mendengar celotehannya.
"Paling tidak, kerjakan soalmu sebelum benar-benar larut." Ucapku lalu kembali fokus pada buku pelajaran milikku sendiri, karena tidak ada hal baik terjadi kalau aku berseteru dengannya lebih jauh.
Waktu terus berjalan, tidak peduli kalau kami diam. Seolah-olah menegaskan meski beristirahat, semuanya tetap bergerak.
Langit makin gelap, terpantul jelas dari jendela kaca. Lampu neon di atas kepala kami semakin terang. Perbandingan nan sangat kontras.
"Hei, Sibella."
"Hm?" aku merespon ketika namaku baru saja dipanggil suara tak bersemangat tersebut.
"Ayo pulang." Samuel menampilkan muka mengantuknya yang masih menempel di atas meja.
"Tapi kamu belum menyelesaikan soal kamu, 'kan?"
Kertas itu masih bersih, sangat bersih malah. Tanpa ada tintah sedikit pun yang mengotori. Aku menatap lagi wajah Samuel, menautkan alis sambil manatapnya intens 'kamu belum mengerjakannya sedikit pun?'.
"Kasih kelonggaranlah, buat hari ini," pintanya sambil memain-mainkan bolpoin.
Lagi dan lagi, entah berapa kali aku membuang napas. Lelah. Meski Bu Dina memang menyuruh agar memberikan Samuel sedikit kelogonggaran, tetapi aku tidak menduga secepat ini dirinya meminta. Benar-benar mengecewakan.
"Cuma kali ini," aku menyerah, "tapi besok kamu harus kerjakan soal dua kali lipat."
"Mana bisa gitu," protesnya lesu. Mata sayu itu hampir tertutup seutuhnya ketika dagunya kembali menempel di meja.
"Kalau begitu kerjakan soal ini sekarang, hari ini juga!" kutegaskan tiga kata terakhir.
Selanjutnya dia terus berguman, sambil mulai bergerak mengerjakan soal di kertas kosong tadi. Aku hampir tertawa, melihat tingkahnya yang begitu unik.
Samuel memang tidak suka mengerjakannya, tetapi juga tidak mau besok mengerjakannya dua kali lebih banyak. Muka setengah hatinya terpampang jelas, mirip bocah yang dipaksa makan sayur meski membencinya.
Tepat pukul 17.50, Samuel menyelesaikan soal yang diberikan hari ini. Aku tidak langsung memeriksanya dan memasukan kertas itu ke dalam tas. Sudah makin larut, pasti orang tuaku sudah khawatir.
"Kalau begitu ayo kita pulang."
"Aku lupa bawa payung," sahutnya dengan topik yang entah datang dari mana. Tanpa sadar aku bersuara dan memperlihatkan kebingungan padanya.
Selang beberapa detik, suara tak asing terdengar dari balik tingkap kaca dan juga genteng. Jutaan tetes air yang besar juga tergambar jelas, menghalangi suasana di luar sekolah. Udara dingin yang sejak tadi menusuk, semakin tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Anak Kucing dan Kukang Pemalas
Novela JuvenilSibella, si jenius matematika. Lebih mengedepankan logika dibandingkan perasaannya. Berjanji akan mengatakan siapa yang dia sukai kalau memang ada pada dua sahabatnya. Havana, pelari atletis. Gadis yang berpikiran pendek dan gampang terbawa arus. Me...