5. Sibella dan Jembatan Gantung (1)
"Aku butuh kamu."
Tunggu ... apa?
"Ayo bantuin aku jawab soal ini biar kita cepat-cepat pulang."
Aku langsung memberikan tatapan skeptis kepadanya.
"Kalau mau cepat jangan berharap sama orang lain," tolakku mengatupkan bibir.
"Kejam banget, padahal cuman jawab beberapa soal doang," dia mengangkat sebelah alisnya, "jangan-jangan kamu sebenarnya enggak bisa ngejawab soal ini? Kamu payah." tambahnya.
Memikirkan sampai dia melakukan provokasi murahan seperti ini ....
"Kamu ini anak kecil, ya?"
"Kamu ini buta, ya?" balasnya.
Kata-katanya malah semakin lama semakin kurang ajar. Padahal dari tadi aku memikirkan bagaimana harus berterima kasih padanya dari kejadian tempo lalu, lupakan masalah itu, Samuel benar-benar menyebalkan sampai akhir.
Tidak ada yang berusara lagi di antara kami berdua, menciptakan keheningan yang agak kaku. Samuel kembali mengerjakan tugasnya, tapi kali ini aku bisa melihat wajahnya yang kesusahan.
Tugas yang diberikan Bu Dina memang meningkat setiap kali diberikan, mungkin kali ini Samuel sudah pada batasnya. Mengingat aku juga tidak ingin pulang terlalu larut aku mungkin akan sedikit membantunya.
"Soal mana yang belum kamu kerjakan?" aku kini berdiri di sampingnya, sedikit membungkuk untuk melihat kertas soal yang ada di atas meja.
Dalam beberapa detik aku merasakan tatapan aneh dari Samuel, saking anehnya aku sedikit merinding. Dia menghela napas setelah mengalihkan pandangan dan membalas.
"Nomor 10."
Suaranya terdengar lebih pelan, membuatku sedikit bingung dan mengintip wajahnya. Aku tidak bisa melihat parasnya, Samuel membelakangiku dan terus menatap jendela kelas yang menampilkan mentari hampir terbenam.
Dia bahkan tidak melihat lagi kertas yang dari tadi digenggamnya dalam keheningan.
"Cuma kali ini, cuma kali ini aku bantu kamu." Aku mengambil kertas itu, membuatnya melihat kemari.
Raut mukanya tetap datar, tidak ada kesenangan, keterkejutan atau semacamnya. Benar-benar manusia yang tak punya semangat untuk hidup, matanya nan sayu itu seolah-olah menegaskan kehampaan yang dia alami sudah sangat lama.
Aku kembali terdiam, melihat soal yang ternyata bisa dibilang cukup mudah. Tidak maksduku, kalau kau memperhatikan guru ketika menjelaskan pasti soal ini–limit fungsi–terbilang lebih mudah dibanding trigonometri.
"Kenapa, enggak jadi bantuin? Ya, lagian dari awal aku enggak serius berharap sama orang pintar," gerutunya kembali membuang muka ke jendela.
"Aku tidak berkata begitu, 'kan?"
Tidak ada balasan, Samuel benar-benar mengabaikanku. Entah kenapa nada suaranya semakin turun tiap kali mengeluarkan kalimat.
"Hei, Sibella. Apa menurut kamu bersungguh-sunggu itu menyenangkan?"
Entah bagaimana pertanyaan itu datang secara tiba-tiba. Dia memang sulit dimengerti, meski sudah lebih satu bulan aku berinteraksi dengannya aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Setiap soal terakhir, Samuel selalu menanyakan sesuatu yang tidak jelas. Ini adalah yang kelima kalinya, dan pertanyaan yang hampir serupa–perihal bersungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Anak Kucing dan Kukang Pemalas
Novela JuvenilSibella, si jenius matematika. Lebih mengedepankan logika dibandingkan perasaannya. Berjanji akan mengatakan siapa yang dia sukai kalau memang ada pada dua sahabatnya. Havana, pelari atletis. Gadis yang berpikiran pendek dan gampang terbawa arus. Me...