PAMIT

1.5K 65 16
                                    

Jangan Jadi Janda

"Siapa, Mas?"

Mas Singgih tidak menjawab. Namun, tampak jelas kalau wajahnya mendadak pias. Dia masih fokus menekuri layar ponsel dan mengabaikan makan malam yang baru saja kusajikan.

"Ndis …."

Aku yang sedang menata sendok mendadak berhenti, lalu menatap Mas Singgih.

"Mas harus ke pabrik," ucapnya seraya bangkit dari duduk.

"Sekarang?" 

Pandanganku mengekori  lelaki berkaus biru yang berjalan ke kamar. Kemudian, dia keluar lagi seraya mengenakan jaket secara  tergesa.

"Mas, ini udah malem, lho."

Aku masih belum tahu siapa penelepon yang membuat Mas Singgih menjadi kalang kabut begitu. Rasanya sangat mustahil kalau orang pabrik menghubungi karena lelaki itu baru saja pulang tiga jam yang lalu. 

"Yuda telefon, katanya ada kerusakan mesin. Dan mekanik yang seharusnya siaga, malam ini nggak masuk kerja." Dia berkata setelah selesai mengenakan sepatu, lalu berdiri menghampiriku.

"Mas berangkat dulu, ya." Mas Singgih mengecup keningku, sebelum  akhirnya berderap ke pintu.

"Mas …."

Langkah Mas Singgih terhenti. 

"Mas, kamu enggak bohong, 'kan?"

Pertanyaan itu terlontar tanpa sengaja karena sedari tadi aku curiga dengan gerak-geriknya.

"Gendis … Gendis … memangnya mas pernah bohong sama kamu?" Lelaki itu terkekeh. 

"Aku boleh liat hapenya?"

Aku menyusulnya di ambang pintu. Lalu menengadahkan telempap, ingin membuktikan bahwa yang menelepon  benar-benar Mas Yuda.

"Ndis, serius mas buru-buru. Udah ditungguin Yuda," ujar Mas Singgih. Dia meraih tanganku, kemudian mengecupnya.

"Mas  usahakan pulang cepet. Maaf, ya?"

Aku tidak sempat berbicara karena Mas Singgih sudah berlalu. Sedikit berlari, dia menghampiri sepeda motor yang terparkir di beranda.

"Mas!"

Aku kembali menyusulnya dan langsung memeluk tubuh jangkung itu dari belakang. 

"Tadi beneran Mas Yuda?" 

Mas Singgih melepas tanganku yang melingkar di perutnya, kemudian berbalik. Dia membingkai kedua pipiku, menatap sendu.

"Demi Allah, mas nggak bohong," ucapnya sungguh-sungguh. "Mas minta maaf, ya?"

Aku tidak mampu berkata-kata. Berbagai enigma kian menjejali kepala. Walaupun Mas Singgih sudah membawa nama Tuhan, tapi entah mengapa rasanya aku sulit percaya.

Bagaimana bisa posisi Mas Singgih yang notabene hanya seorang mekanik tiba-tiba dihubungi di luar jam kerja? Padahal aku yakin, ahli mesin bukan dia saja. Apalagi dia baru masuk tadi pagi setelah beberapa hari mengambil cuti untuk melangsungkan pernikahan kami di kampung.

"Mas janji akan pulang secepatnya."

Mas Singgih merengkuhku ke dalam pelukan, sesekali mengelus punggung, mungkin untuk menenangkan. 

"Tidur aja dulu. Nggak usah nunggu," bisiknya tepat di telinga.

Sejenak, aku tertegun. Apa itu artinya dia tidak berniat pulang?

Aku mengerjap, berusaha mengenyahkan prasangka. Menyugesti diri sendiri bahwa Mas Singgih tidak mungkin bermain api.

"Aku kangen kamu, Mas …."

Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang