Mulut Boncabe

444 54 11
                                    

Entah berapa kali Arbi berdecak dan mendengkus. Terkadang, dia seperti hendak bersuara, tapi tak kunjung ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya.

Pukul sepuluh malam, jalanan Jakarta padat merayap. Klakson bersahut-sahutan, seolah-olah pengemudinya tidak sabaran, termasuk Arbi. Siku tangan kanan lelaki itu bertumpu di pintu mobil, sementara telapak tangannya dikepalkan dekat bibir.

Mungkin dia kesal setengah mati karena harus mengantarku pulang. Aku sudah bersikeras untuk memesan taksi online. Namun, Bu Halimah, mamanya Arbi, tidak mengizinkan aku pulang sendirian.

"Ibu nggak mengizinkan. Lebih baik Nak Gendis nginep di sini saja daripada pulang sendiri," kata wanita berhijab lebar itu.

"Lagian udah malem, Dis. Nanggung juga kita besok pagi ke makam biar sekalian aja berangkatnya dari sini." Nara menimpali.

Menginap di rumah Nara? Kedengarannya bercanda, ya. Mana mungkin aku menginap di sana. Teman bukan, saudara apa lagi. Bahkan perkenalan kami berawal dari satu hal yang tak mengenakkan.

Aku menolak diantar Arbi bukan tanpa alasan. Pasalnya, laki-laki itu jadi pendiam semenjak keberangkatan sore tadi. Namun, beberapa kali dia kepergok tengah menatapku. Seperti sekarang, dari ekor mata, aku merasa seperti sedang diawasi.

Mobil yang kami tumpangi melaju pelan, mengekori kendaraan di depan. Sepertinya titik kemacetan tinggal beberapa meter lagi. Strobo dari mobil kepolisian tampak semakin jelas.

Melihat sebuah motor ringsek karena-mungkin-tertabrak mobil, aku tiba-tiba gemetar. Aku seperti dipaksa untuk menyibak lagi memori mengerikan yang jelas-jelas belum hilang di kepala.

Arbi berdeham, lalu berkata, "Jangan diliatin."

Sebenarnya, aku pun tidak ingin memandangi TKP kecelakaan itu. Namun, berhubung mobil kami melewatinya, mau tak mau aku tetap melihat. Sialnya lagi, tatapanku terpancang di titik itu. Seolah-olah Mas Singgih di sana, melambai-lambai dengan tubuh bersimbah darah.

Aku menghela napas, berusaha menguasai diri. Aku harus ikhlas, 'kan? Seperti Nara yang juga tampak ikhlas menerima takdir bahwa dia harus mengasuh Nafis tanpa sosok suami. Satu hal yang membuat aku sangat bersyukur tidak memenjarakan Nara adalah, sekarang dia masih tetap bisa merawat Nafis yang mengalami keterlambatan berjalan di usia dua tahun lebih.

"Nggak mau turun?"

Pertanyaan Arbi membuat aku tergemap dan bergegas melepas sabuk pengaman. Ternyata mobil sudah berhenti di depan gang kontrakanku.

"Makasih," ucapku, lalu membuka pintu. Aku mengernyit ketika Arbi juga melakukan hal yang sama.

"Kamu ngapain ikut turun?" tanyaku saat mulai melangkah memasuki gang.

Lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya berjalan beberapa langkah di belakangku. Itu saja sudah cukup mewakili jawaban.

Seharusnya, dia tidak perlu mengantar sampai depan kontrakan. Hampir pukul sebelas malam, gang sempit ini belum benar-benar sunyi. Suara televisi dari rumah-rumah masih terdengar. Petikan gitar dan suara sumbang khas anak-anak muda seperti pertanda bahwa Jakarta memang tak akan terlelap.

"Mbak Gendis baru pulang?" tanya salah seorang pemuda. Dia sedang duduk-duduk di teras sempit bersama teman-temannya.

Aku menanggapi sekadarnya dan mengangguk sopan. Lebih tepatnya canggung karena sebelumnya mereka tidak seramah ini. Biasanya, setiap aku lewat bersama Mas Singgih di gang ini, mereka benar-benar lo-lo gue-gue.

"Makasih." Aku mengucapkannya sekali lagi kepada Arbi setelah kami sampai di teras kontrakan.

Lagi-lagi, lelaki itu membisu. Aku pun bergegas masuk dan menutup pintu tanpa mempersilakannya masuk, bahkan menoleh pun tidak.

Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang