Pengakuan

511 54 6
                                    

"Katanya kamu hamil."

Kalimat itu diucapkan pelan, seperti tanpa emosi, tapi mampu membuatku menoleh kepada Arbi. Dia duduk di sebelah ranjang rumah sakit yang saat ini kutempati.

"Kamu bercanda, 'kan?" tanyaku parau.

Dia menatap langit-langit, tampak sedang berpikir. Lalu melirikku sekilas, seperti tak berniat menjawab pertanyaanku.

Aku tertawa sumbang. Tidak mungkin! 

Kepalaku berdenyut nyeri. Otak berpikir keras atas segala kemungkinan yang terjadi.

"Bercanda, 'kan? Dokter pasti—" 

Belum selesai aku berkata, Arbi bangkit dan menempelkan ponsel ke telinga. Tangan kirinya mengusap wajah dengan kasar.

"Aku masih di rumah sakit, Yang. Serius … nggak bisa." Dia mengesah, tampak frustrasi. "Nggak bisa …."

Arbi menghempaskan diri di sofa. Menyandarkan punggungnya sambil—mungkin—mendengarkan lawan bicaranya di seberang telepon. Wajah lelaki itu mendongak, menatap langit-langit, sesekali melirikku.

"Yang …." Suaranya terdengar putus asa. Dia mengembuskan napas kasar. 

Bangun dan mendapati diri sudah berada di rumah sakit adalah pengalaman pertama bagiku. Mungkin kalau tidak lemas, aku  terlonjak saking kagetnya mendapati Arbi tengah menungguiku.

Tidak ada yang pembicaraan di antara kami sampai akhirnya tadi Arbi memulai terlebih dahulu. Aku memilih untuk diam, karena di sisi lain, pandanganku masih berkunang-kunang.

Entah bagaimana ceritanya kenapa dia yang ada di sini, bukan Karin, atau teman-teman lainnya. 

Kepalaku semakin berdenyut nyeri. Selain memikirkan kata-kata yang tadi Arbi katakan, aku juga memikirkan seberapa banyak uang yang harus aku keluarkan untuk membayar perawatan di rumah sakit dengan menempati ruangan VIP. Ah, benar-benar gila! Kalau memang berniat menolong, kenapa justru membebani seperti ini?

Kalau untuk biaya satu malam, aku masih sanggup membayar, sih. Namun, itu artinya tabunganku semakin menipis. Seminggu lagi, aku harus mengirim uang ke kampung untuk acara tahlilan empat puluh hari kematian Mas Singgih.

"Aku boleh keluar bentar, nggak?" tanya Arbi tiba-tiba. Sekarang, dia sudah bangkit dan berdiri tak jauh dari tempatku berbaring.

Aku mengangguk. Tentu saja boleh. Lagi pula, kehadirannya di ruangan ini membuatku risi.

Dia sudah hampir mencapai pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan berbalik. Aku mengangkat alis, bertambah heran saat dia berjalan, lalu menghempaskan diri ke sofa lagi.

"Kenapa?" tanyaku pelan, entah terdengar olehnya atau tidak.

Dia menggeleng. "Tidur, gih."

Hening. Berkali-kali helaan napas Arbi sampai terdengar. Wajah lelaki itu muram, keningnya berkerut dalam-dalam saat mengutak-atik ponsel. 

"Yang … aku nggak bohong—" Arbi mengumpat seraya melempar ponselnya ke sofa di sebelahnya. Dia mendengkus.

Kalau dia bertengkar dengan pacarnya gara-gara harus menunggui aku di sini, sumpah itu tidak lucu. 

"Pergi aja. Aku nggak—"

"Kamu mending tidur, deh." Suaranya terdengar pelan, tapi penuh penekanan. "Nggak perlu aku nina-boboin, 'kan?"

Sumpah, aku yang tadi sempat simpatik, sekarang menarik selimut sampai dagu dan memiringkan tubuh, membelakangi Arbi. Peduli setan kalau dia bertengkar dengan pacarnya gara-gara aku. Toh, aku tidak memintanya untuk tetap berada di sini!

Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang