Hari sudah petang. Satu per satu para tetangga mulai berpamitan. Pada akhirnya, aku benar-benar sendirian, kesepian.
Aku menutup pintu rapat-rapat, sebelum akhirnya melangkah pelan ke ruangan yang udaranya memerangkap ribuan kenangan. Tempat di mana seharusnya aku dan Mas Singgih memadu asmara, tapi sekarang justru bagaikan kubangan nestapa.
Aku menghela napas dalam-dalam sebelum meraih ponsel di nakas. Beberapa detik, aku hanya mampu memandangi layar yang masih gelap.
Air mata kembali jatuh ketika aku berhasil mengetik kata sandi. Seraut wajah tampan terpampang di layar, tampak begitu menawan dengan senyum yang dulu menenangkan. Namun, sekarang justru menyesakkan karena hatiku belum rela kehilangan.
Terduduk di lantai dan bersandar di tepian kasur, aku menimbang-nimbang untuk menghubungi seseorang. Kupejamkan mata, mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya memulai panggilan.
Detak jantung tak lagi harmoni, rasa bersalah kian melingkupi. Seharusnya, sedari pagi aku memberi kabar kepada keluarga di kampung. Namun, apalah daya, jangankan menelepon Wak Darsih, sekadar bernapas saja aku masih kesakitan setiap mengingat Mas Singgih.
"Ya, Nduk?" Suara di seberang telepon menyapa telinga.
"Wak." Aku memulai dengan suara parau. "Mas Singgih, Wak ...."
Aku menghela napas dalam-dalam sembari menyeka air mata yang jatuh bak air hujan.
"Kamu nangis, Nduk? Apa Singgih jahat sama kamu?"
Tidak ada dalam sejarah kisah kami kalau lelaki itu menyakitiku selain kepergiannya kemarin malam.
"Mas Singgih ...." Susah payah, aku meneguhkan diri sebelum kembali berkata, "Sudah pergi, Wak."
Kalimat itu akhirnya meluncur juga. Bersamaan tangis yang kemudian pecah begitu saja.
"Pergi ke mana? Dia lembur, Nduk?"
Aku menggeleng, meski tahu di kejauhan sana Wak Darsih tidak dapat melihat kehancuranku sekarang ini.
"Mas Singgih kecelakaan, Wak ...."
Tepat setelah kalimat itu berakhir, terdengar pekik lantang Wak Darsih sembari memanggil nama sang ponakan.
Rasanya, dadaku seperti dihunus ribuan pedang. Aku tidak sanggup untuk menjelaskan detail kecelakaan yang menimpa Mas Singgih kemarin malam. Maka, begitu suara gaduh di seberang sana mulai terdengar, aku mengakhiri panggilan.
Maafin Gendis, Wak. Belum bisa jadi istri yang baik buat ponakan Uwak.
Aku tahu, perempuan itu pasti sangat kehilangan. Mengingat dialah yang merawat Mas Singgih sedari kecil setelah kedua orang tuanya berpulang.
Dia juga yang tiga hari lalu sangat antusias menggelar walimatul ursy setelah pernikahanku dan Mas Singgih di KUA.
Teringat jelas di kepala, bagaimana wanita paruh baya itu berkata ketika aku berkemas hendak kembali ke Jakarta. "Ora elok, lho. Manten anyar langsung pergi jauh. Setidaknya tunggulah sampai seminggu di sini."
Saat itu, dengan entengnya aku menyanggah, "Ndak apa-apa, Wak. Lagian kalau kelamaan di sini, nanti gimana kerjaan kami?"
"Minta tambahan libur sama bos kamu," ujar wanita itu dengan polosnya.
Mas Singgih hanya terkekeh mendengar ucapan uwak satu-satunya itu.
"Ndak bisa, Wak. Kami, kan, karyawan biasa. Malahan nanti dipecat kalau cuti terlalu lama," ucapku sembari mengelus lengan Wak Darsih. Mencoba memberi pengertian kepada wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)
RomansJanda. Satu kata yang terdiri dari lima huruf itu adalah status yang mau tak mau harus Gendis sandang setelah kematian Singgih. Bukan hanya kesepian yang harus Gendis lawan, tapi juga pandangan-pandangan meremehkan dan tuduhan keji yang dia dapati...