"Nggak gini, Ra ...," ucapku setengah frustrasi. Aku memijit kening sambil berjongkok di teras minimarket.
"Dis ...." Suara Nara pelan, tapi seperti tidak mau dibantah. "Aku nggak mau kejadian kayak tadi pagi keulang. Kamu nggak aman di sana," lanjutnya.
Aku mendesah sambil mengacak-ngacak rambut, lupa kalau kepala masih nyut-nyutan akibat jambakan Teh Ela pagi tadi. Ah, gara-gara wanita itu, Nara jadi over protektif kepadaku. Bagaimana tidak? Setelah menepis tangan Teh Ela dari rambutku, Nara langsung mendorong dan balas memakinya.
"Jangan salahin janda! Salahin tuh suami lo! Jaga baik-baik matanya biar nggak jelalatan!" seru Nara seraya pasang badan di depanku.
Nara menatap nyalang semua orang yang sebelumnya hanya menonton. Perempuan berambut pirang itu kembali berseru, "Kalian nggak ada otak! Ada keributan bukannya ditolongin malah ditonton!"
Tak ada satu orang pun yang menyahut. Bahkan Teh Ela yang sebelumnya berapi-api pun tampak menciut. Terlebih Bang Herman yang menunduk takut-takut.
Namun, ternyata hal itu tidak lantas membuat Nara lega. Dia tetap menyuruhku lekas pergi dari kontrakan saat itu juga. Bahkan, sekarang setelah pulang kerja jam sebelas malam, perempuan itu tidak mengizinkan aku pulang.
"Ayo, Mama udah nungguin di rumah," ujarnya sambil menarik tanganku.
Sekarang, aku baru tahu sifat Nara sebenarnya. Sebelas dua belas dengan adiknya. Sama-sama tidak mau dibantah.
"Aku nggak mau kamu mati konyol gara-gara diserang emak-emak barbar," tukasnya setelah kami menaiki taksi online.
Kalau menurutku, Nara itu gila. Iya, gila. Mau-maunya dia menungguiku dari pagi sampai tengah malam begini. Bahkan, dia duduk di teras minimarket selama aku bekerja. Gila, 'kan?
Waktu aku menyuruhnya pulang karena takut Nafis nangis, dia malah menjawab dengan enteng, "Nafis aman sama Mama. Sekarang, yang lagi nggak aman itu kamu."
Huft!
Bu Halimah benar-benar menungguku. Wanita itu langsung menyiapkan makanan setelah menyuruhku membersihkan diri.
"Pasti Nak Gendis capek banget habis kerja," ucap Bu Halimah. Tangannya sibuk mengambilkan nasi beserta lauk-pauk.
"Bu, saya sudah-"
"Makan yang banyak," ucapnya lagi. "Perlu ibu suapi?"
Nah, nah, persis seperti Arbi, 'kan?
Bu Halimah pamit beristirahat setelah menemaniku makan. Sekarang, aku bergabung dengan Nara dan Nafis di ruang tengah. Sudah pukul dua belas malam, tapi Nafis belum terlelap juga.
Aku sudah menguap beberapa kali, tapi enggan untuk pergi ke kamar yang tadi disiapkan Bu Halimah. Lagi pula, Nara pun masih mengajak bercerita.
Sampai akhirnya, deru mobil membuat Nara merendahkan volume televisi. Dia seperti menajamkan pendengaran.
Ketika bel berbunyi, Nara mencebik. "Ngapain, sih, Arbi. Bukannya langsung masuk aja," sungutnya.
Setahuku, ada satu ART di rumah ini. Namun, tengah malam begini, Mbok Inah pasti sudah terlelap. Jadi, bisa dipastikan bahwa yang harus membukakan pintu depan adalah Nara.
Karena Nafis tengah terkantuk-kantuk di pangkuan Nara, aku tidak tega membiarkan perempuan itu beranjak dari duduk.
"Aku aja, deh, Ra," ucapku sambil berdiri.
"Eh!" Nara seperti akan mencegah. Namun, aku memberi kode bahwa Nafis hampir terlelap.
"Pastiin dulu kalo itu Arbi. Jangan langsung buka gerbangnya," kata Nara sebelum aku berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)
RomantikJanda. Satu kata yang terdiri dari lima huruf itu adalah status yang mau tak mau harus Gendis sandang setelah kematian Singgih. Bukan hanya kesepian yang harus Gendis lawan, tapi juga pandangan-pandangan meremehkan dan tuduhan keji yang dia dapati...