Langit Jakarta malam ini sedikit mendung. Arak-arakan awan menutup cahaya rembulan dan gemintang. Angin berembus pelan, meniup debu jalanan. Aku menyusuri trotoar dalam kesendirian.
Sepulang kerja, entah mengapa aku ingin sekali mencari makan di luar. Rasanya sudah begitu lama tidak jajan malam semenjak kepergian Mas Singgih.
Dulu, sedikitnya seminggu sekali, kami berburu makanan pinggir jalan. "Sekali-kali, biar nggak bosen di kontrakan mulu," kata Mas Singgih tiap kali aku malas diajak keluar.
Biasanya, kami berkeliling menggunakan sepeda motor dengan laju santai. Benar-benar menikmati keramaian jalan sekaligus melepas penat setelah seharian bekerja.
Aku melewati perempatan lampu merah. Memperhatikan sepasang muda mudi yang duduk di atas sepeda motor, bersenda gurau sembari menunggu lampu berganti hijau. Dulu, aku juga seperti mereka. Mas Singgih mengusap-usap lututku, dan sesekali memijit betis sembari berkata, "Pasti capek banget, ya, jadi kasir. Berdiri terus seharian."
Seketika, lelahku hilang. Penat yang menyergap seharian seolah-olah terangkat hanya dengan perlakuan sederhana seperti itu.
"Capeknya ilang kalau udah ketemu kamu, Mas," ujarku sembari mengeratkan pelukan di pinggangnya.
Mas Singgih terkekeh sembari sedikit menoleh. "Sejak kapan bisa gombal?"
"Kok, gombal? Emangnya kamu tetep capek, ya, kalau ketemu aku?"
Mas Singgih mengusap-usap tanganku yang berada di perutnya. "Nggak usah ketemu kamu, capek mas langsung ilang setiap kebayang senyummu. Dan membayangkan kalo nanti kita—"
Lelaki itu memekik karena aku mencubit perutnya.
"Tuh, kan, kamu lebih gombal ketimbang aku," ujarku.
Mas Singgih tertawa. Dia menggenggam tangan kananku, lalu membawa ke dadanya. "Serius, Dis," ucapnya dengan nada serius. Dalam riuh rendah deru kendaraan dari arah berlawanan, Mas Singgih kembali berkata, "Jangankan capek, mungkin kalo nanti Izrail datang buat nyabut nyawa mas, bakal mas sambut dengan senyuman karena itu berarti, mas mencintai kamu sampai mati."
Aku terduduk di trotoar. Persendianku terasa lumpuh begitu teringat perkataan Mas Singgih malam itu.
Kalau saja waktu bisa terulang kembali, ingin sekali kubungkam mulut Mas Singgih agar tidak berkata seperti itu. Pamali, Mas!
"Semua orang, kan, pasti mati, Dis," ucap Mas Singgih sewaktu aku memprotes ucapannya. "Tapi, semoga mas duluan yang mati karena mas nggak akan sanggup kehilangan kamu. Mas nggak—"
"Memangnya, kamu pikir aku sanggup kehilangan kamu? Ih, omongan kamu ngaco deh, Mas." Aku mengerutu setelah sepeda motor kembali melaju.
Malam itu, aku tidak mengira ucapan Mas Singgih diamini oleh malaikat. Bahkan, seujung kuku pun aku tidak pernah membayangkan hidup tanpa Mas Singgih.
Hatiku terasa diremas-remas. Lutut masih lemas. Namun, ketika sadar pipi sudah basah oleh air mata, aku ingat bahwa malam itu Mas Singgih juga berkata, "Mas yakin kamu sanggup." Dia menjeda karena ada suara sepeda motor yang meraung-raung menyalip kami. "Karena kamu pasti tau, mas nggak suka kamu menangis."
Mas nggak suka kamu menangis ….
Kalimat itu membuat aku gegas menyeka air mata dan kembali berusaha baik-baik saja di depan dunia. Kemudian, aku mengumpulkan tenaga dan kembali menyusuri troroar, menuju warung tenda.
"Gendis!"
Tepukan di bahu membuat aku refleks menoleh. Lelaki berjaket itu melepaskan helm, lalu bertanya, "Kamu ngapain jalan sendirian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Jadi Janda (Sudah Terbit)
RomanceJanda. Satu kata yang terdiri dari lima huruf itu adalah status yang mau tak mau harus Gendis sandang setelah kematian Singgih. Bukan hanya kesepian yang harus Gendis lawan, tapi juga pandangan-pandangan meremehkan dan tuduhan keji yang dia dapati...