Tentunya Gwen bukan wanita berpikiran sempit, apalagi minim ilmu. Dia memang dituntut untuk berperilaku manis dan anggun di mana pun dia berada. Itu karena dia adalah kebanggaan keluarga Marquess Remian yang terhormat. Selain etiket kebangsawanan yang dia terima semasa hidupnya, Gwen juga punya kegemaran lain dan dia cukup ahli dalam hal itu.
Bukan menari, berdansa, atau menyulam. Gwen biasa saja dalam hal itu. Gwen menggemari seni dan menjadikannya sebagai hobi. Dia sesekali memenuhi kerinduannya akan hobinya itu dengan berkunjung ke galeri seni atau museum.
Tentu saja tidak banyak yang memahami bakatnya itu, Gwen juga tidak merasa harus mengumumkannya pada kerabat atau suaminya. Punya satu atau dua orang rekan yang bisa diajak berdiskusi tentang hobinya saja sudah membuatnya puas.
Gwen tidak pernah merasa menjadi perempuan membosankan, hidupnya menarik dan penuh kejutan. Tapi tidak seperti itu yang dilihat orang luar, termasuk suaminya. Mereka melihat Gwen sebagai gadis bangsawan manja biasa yang selalu butuh dukungan dan perhatian suaminya.
"Aku ingin menjadi duchess yang baik, apakah tujuan hidupku terlalu sederhana?" tanya Gwen.
"Tidak sama sekali, menjadi duchess adalah tanggung jawab besar." Edmund kembali mengelus rambut Gwen yang berwarna kemerahan untuk menunjukkan apresiasinya.
"Istirahatlah, kita akan bertemu ketika makan malam."
"Apakah aku boleh berkeliling rumah?"
"Akan kuminta kepala pelayan untuk memandumu," ujar Edmund sebelum dia berlalu pergi, kembali ke kesibukannya.
Gwen merebahkan tubuhnya ke ranjang besar di kamarnya. Dia memandang plafon kamarnya yang tinggi serta melirik ke arah jendela besar di mana sinar matahari menelusup lembut dan hangat menerpa matanya. Gwen memicingkan matanya merasa silau.
Edmund masih tetap memperlakukannya sebagai gadis kecil. Memang dia sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya sebelum pernikahan mereka mencapai setahun. Tapi dia seharusnya bisa mencium atau memeluknya mesra, bukan sekadar mengusap rambut dan kecupan singkat di kening, apalagi pelukan persahabatan.
Betapapun manis dan lembutnya Gwen, dia itu manusia yang butuh kehangatan lebih, bukan anjing Pomeranian atau semacamnya. Gwen menggeleng. Kalau boleh memilih, dia lebih suka jadi St. Bernard saja, mereka tangguh dan suka menolong manusia yang tersesat. Kemudian Gwen menggeleng lagi. St. Bernard terlalu berliur. Pomeranian ternyata memang lebih baik. Gwen bangkit dari rebahnya, seketika merasa bodoh karena membandingkan dirinya sendiri dengan anjing.
Tidak ada perubahan nyata antara sebelum dan sesudah menikah selain kini dia menerima gelar duchess dan memiliki nama belakang Rosiatrich.
Apa Edmund punya kelainan? Atau tidak suka perempuan? Gwen sempat menduga hal itu. Walau menyedihkan dan membuatnya patah hati, Gwen mungkin bisa bersabar membantu Edmund kembali ke jalan yang lurus. Tapi kalau satu tahun sudah berlalu dan Edmund masih tetap sama, dia mungkin harus berpisah.
Pernikahan tanpa cinta lumrah di kalangan bangsawan. Tapi setidaknya mereka masih berusaha membentuk keluarga normal, termasuk memiliki anak. Gwen sendiri sudah terbiasa dengan perasaan cinta tidak terbalas selama belasan tahun. Dia masih punya harapan untuk membuat Edmund balik mencintainya. Tapi kalau Edmund penyuka sesama jenis, beda lagi ceritanya.
Gwen menghela napas panjang.
Haruskah dia menuruti usulan Anita, pelayannya yang kadang suka berkomentar usil?
Kehidupan pribadi bangsawan sering kali diketahui oleh para pelayan pribadi mereka, termasuk masalah rumah tangga. Namun mereka biasanya tidak akan berani bergosip karena kalau ketahuan, hukumannya sangat berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess Wants a Divorce
Fantasy***WATTYS WINNER 2021 KATEGORI FANTASI*** --- Setelah menikah dengan seorang duke paling berpengaruh di negaranya, Gwen harus berperang melawan intrik politik, sihir, dan patah hati. --- Gwen pikir menikah dengan Edmund, cinta pertamanya, akan memba...
Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi