"Aku tidak pernah tahu kalau kau seorang duke." Abigail berdiri sambil melipat lengannya di tepi jendela yang tirainya setengah terbuka.
"Dulu aku memang belum jadi duke." Edmund menggumam sambil duduk di meja kerjanya dan menggores selembar perkamen dengan penanya.
"Iya, tapi kau juga tidak bilang kalau kau pewaris gelar duke Rosiatrich."
"Ketika itu identitasku dirahasiakan."
"Pantas saja kau tidak memberiku nama lengkapmu." Abigail terdengar menahan tawa.
"Dengar, Abigail, aku mengajakmu ke sini bukan untuk bernostalgia akan masa lalu. Karena itulah, aku ingin kau mengubur masa lalu kita berdua dalam-dalam. Tidak ada yang boleh mengetahuinya, terutama istriku." Edmund memandang Abigail serius setelah menghela napas.
"Oh, ya ampun, Ed, itu semua hanya romansa remaja di masa lalu. Duchess tidak akan peduli kalau kau punya satu atau dua mantan kekasih." Abigail tertawa.
"Aku peduli, karena kini aku seorang duke, semua yang terlibat dan singgah dalam kehidupanku akan menjadi konsumsi publik." Edmund menjelaskan.
"Baiklah, itu bukan masalah buatku. Aku tahu, akan sangat buruk bagi citramu jika publik mengetahui kalau kau pernah terlibat asmara dengan putri seorang baron di daerah yang jauh dari ibu kota, ditambah lagi dia kini seorang janda. Kantor berita akan senang meliput ini." Abigail mengatakannya dengan santai.
"Turut berduka untuk perceraianmu."
"Apa kau gila? Aku bahagia sekarang bisa lepas dari pria kasar. Harus selalu diam di rumah dan berdandan khusus untuknya telah membuatku sesak napas." Abigail menegaskan kalau itu semua bukan masalah baginya.
"Aku bersimpati padamu, aku tahu beratnya sanksi sosial yang diterima oleh wanita sepertimu. Kau tidak perlu pura-pura tangguh, Abigail," ucap Edmund serius.
Abigail hanya tersenyum sambil melontarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kerja Caleigh Mansion yang cukup terang karena banyaknya jendela. Edmund tidak berencana menetap lama di sana, karena itu meja kayunya terlihat sepi. Berbeda dengan yang dia miliki di Rosiatrich Mansion yang ada di ibu kota. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang cukup mencolok bagi Abigail.
Edmund sepertinya menyempatkan diri untuk membaca buku dan melakukan riset serius akan sesuatu hal di luar kewajibannya sebagai duke. Abigail melihat tumpukan buku bersampul kulit yang tampak lusuh dan berdebu.
"Edmund, kau tertarik dengan sihir dan ramalan?"
Sang duke terdiam. Buku-buku itu kebanyakan memang membahas tentang sihir, hal paranormal, serta ramalan dan cerita mitologi. Edmund membacanya bukan hanya karena dia suka, dia ingin mencari tahu sesuatu.
"Ini hanya sekadar hobi." Edmund mengelak. Dia tidak terlalu peduli Abigail memergokinya.
"Mustahil. Seingatku kau orang yang sangat rasional." Abigail menggeleng ragu.
"Kita sudah belasan tahun tidak bertegur sapa, kau tidak terlalu mengenal diriku, begitu pun juga diriku," tanggap Edmund dingin. "Sekarang aku akan membahas soal usulanmu tadi, tentang mengolah komoditi biji kopi yang—"
"Aku ingin menjadi penanggung jawab proyek ini," kata Abigail cepat dan sedikit gugup.
"Apa maksudmu?"
"Aku bisa melakukannya, aku banyak belajar dan mudah berteman. Aku akan menjamin proyek ini sukses," kata Abigail lagi.
"Abigail, ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan."
"Aku tahu kalau aku masih amatir, tapi aku hanya akan menjadi penanggung jawab. Aku memang tidak tahu banyak tentang bisnis perkebunan kopi, tapi aku bisa memanfaatkan bantuan dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Lagi pula, aku merasa seharusnya bisa mendapatkan kompensasi dari usahamu untuk menyembunyikan masa lalu kita. Benar, kan?" Abigail bernegosiasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess Wants a Divorce
Fantasy***WATTYS WINNER 2021 KATEGORI FANTASI*** --- Setelah menikah dengan seorang duke paling berpengaruh di negaranya, Gwen harus berperang melawan intrik politik, sihir, dan patah hati. --- Gwen pikir menikah dengan Edmund, cinta pertamanya, akan memba...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi