Chapter 6

312 46 0
                                    

Pagi itu adalah acara pernikahan Mean dam Jane. Semuanya menunggu sang pengantin perempuan menghadiri ruang utama yang diserahkan oleh ayah dan ibunya.

Dan setelah setengah jam sang pengantin tak datang-datang semuanya menjadi agak khawatir. Mean menatap ke arah Plan dan Plan yang paham, langsung berdiri dan menganggukan kepalanya.

Ia pergi menuju ruang Jane dan mengetuk pintu beberapa kali. Sayangnya, tidak ada jawaban. Perlahan, Plan mendorong pintu dan saat ia masuk, tak ada seorang pun di sana, kecuali sepucuk surat dengan amplop berwarna cokelat tergeletak di atas meja rias.

Plan meneguk ludah. Jangan sampai yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Ia mendekati meja rias itu dan menatap amplop dengan tulisan untuk Phi Mean. Plan langsung memegang pelipisnya dan ia kemudian berjalan dengan gontai menuju ruang pernikahan dan mendekati Mean lalu berbisik dan memberikan surat.

Semua tamu saling menatap heran dan mereka mulai saling berbisik seolah mereka paham dengan hal yang terjadi. Mean membuka surat itu dan membacanya perlahan. Ekspresi di wajahnya berubah sedih. Ia kemudian tersenyum dipaksakan sambil melipat surat dan menundukkan kepalanya dan wai dan berkata dengan keras tetapi sopan.

"Mohon maaf! Tetapi sepertinya pernikahan kami batal," ujar Mean sambil menunduk. Semua tamu heboh. Sebagian merasa kasihan, sebagian yang lain mencibir. Mereka pulang dengan gosip dan perdebatan.

Jane pergi meninggalkan resepsi sebab ia merasa Mean tidak mencintai dia. Ia merasa Mean mencintai Plan dan tak mau melanjutkan pernikahan mereka sebab Jane berpikir semuanya alan sia-sia.

Ia mendukung hubungan Mean dan Plan, tetapi ia perlu waktu untuk sendiri dan memikirkan langkah ke depannya sebab ia juga mencintai Mean dan ingin berusaha melupakan dirinya. Plan tahu mengenai hal ini. Ia memberikan surat itu kepada Plan. Plan diam dan menangis. Setelah seminggu akhirnya Mean dan Plan bertemu dan  berbicara.

"Kau mau ikut denganku ke Prancis dan memulai kehidupan di sana?" Plan menatap Mean dengan serius.

"Kau tahu aku sangat ingin melakukannya. Tapi, aku sudah berjanji kepada Orn bahwa aku tak akan meninggalkan rumah kami dan semua kenangan kami di sini," ujar Mean.

"Aku tak memintamu tinggal di Prancis denganku untuk selamanya. Aku ingin kau sekolah lagi dan mendalami kopi dan kafe dan setelah itu kita bisa kembali dan memulai kehidupan di sini," ujar Plan menjelaskan.

"Eh, maksudmu? Aku sekolah lagi...," Mean mengernyitkan alisnya.

"Kau dulu pernah bilang bahwa kau sangat ingin mendalami hal tentang kopi dan kafe. Kenapa kau tak memulainya sekarang. Prancis punya banyak tawaran dan negara yang lain juga. Aku akan mendukungmu, kalau kau mau," ujar Plan.

Mean diam berpikir.

"Ayo kita menikah dan memulai rencana kita. Aku tak keberatan kita tinggal di mana saja selama kita bersama, saling mendukung dan yang paling penting adalah kau tak berkhianat kepadaku," ujar Plan lagi.

"Astagaaaa!!!" Mean hanya bisa mengeluarkan kata itu dan ia terlihat sangat terkejut.

"Kenapa kau terkejut?" tanya Plan.

"Karena ini pertama kali seorang wanita dengan latar belakang yang luar biasa dan bagiku sangat mustahil bisa mendekatinya tiba-tiba melamarku dan aku tak percaya," ujar Mean lagi.

"Aku ingin mewujudkan mimpimu itu. Tak boleh?" tanya Plan dengan nada bercanda.

"Tapi, kalau kau tak mau juga tak apa-apa. Tawaranku hanya sekali. Kau tak akan pernah mendengarnya lagi." ujar Plan dan ia berdiri meninggalkan ruanh tamu Vila.

"Eh! Jangan begitu!" Mean dengan cepat mengikuti Plan ke kamar.

"Bagaimana dengan Phi Weir?" tanya Mean.

"Weir?" Plan langsung tersenyum.

"Dia sudah kembalu kepada mantan pacarnya. Sudah kubilang kami hanya berkencan. Tidak ada hubungan apa-apa," sahut Plan lagi.

"Uhm, baguslah. Kalian bercinta?" tanya Mean lagi dengan nada cemburu. Ia menarik pinggang Plan dan memeluknya dari balik pintu.

"Tentu saja kami bercinta. Kau pikir kami anak SD yang pacaran cuma saling lihat dan saling senyum malu-malu," delik Plan lagi.

"O, berapa kali?" tanya Mean. Plan menganga dan menggelengkan kepala.

"Kau gila!" ujar Plan dan mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Mean.

"Apakah kau tahu aku sangat posesif pada istriku?" tanya Mean kepada Plan.

"Baguslah kalau begitu, karena aku juga sama," ujar Plan berbisik di telinga Mean. Mereka mulai berciuman dan saling menanggalkan pakaian dan bermain-main sebentar di ranjang. Setelah itu mereka bercumbu dengan serius dan bercinta cukup lama.

Phi Gem dan Phi Nook saja sampai memakai penutup telinga sebab suara desahan yang keras dari keduanya yang berlomba itu teedengar jelas keluar. Dan jelas Mean Phiravich tengah berada pada puncak berahinya.

"Aku menginap di sini, boleh?" tanya Mean sambil memeluk Plan dan menatapnya.

"Iya, tentu saja," sahut Plan.

"Maksudku di sini di kamar inu bersamamu, tidak dengan Hope, ujar Mean lagi.

"Iya, di sini, di sisiku. Kenapa lima babak tidak cukup?" tanya Plan lagi sambil memicingkan matanya. Mean nyengir sambil menggaruk kepalanya pelan.

"Aku cek Hope dulu, na!" ujar Plan sambil hendak berdiri.

"Jangan, aku saja!" ujar Mean. Denhan cepat ia bangkit mendahului Plan.

"Kau istirahat saja," ujar Mean sambil mengedipkan satu matanya.

"Aku ingin melihatnya dulu," ujar Plan sambil menyusul bangkit.

"Kalau begitu pergi bersama," ujar Mean. Plan mengangguk. Ia memakai baju dasternya dan berjalan berpegangan tangan dengan Mean menuju kamar Hope.

Sang anak tertidur dengan pulasnya dan mereka berdiri bersebelahan menatap Hope yang semakin mirip dengan Orn.

"O, dia semakin mirip dengan Orn? Cantik sekali." Tatapan Plan begitu lembut dan jelas penuh dengan kasih sayang.

"Uhm," gumam Mean pelan. Ia tersenyum dan mencium pucuk kepala Plan.

Mereka cukup lama memperhatikan Hope dan sejenak saling memandang lalu tersenyum.

"Ayo kembali ke kamar," bisik Mean di telinga Plan. Ia memeluk Plan dari belakangnya dan mencium leher Plan lembut.

"Mau apa?" canda Plan.

"Bercinta," bisik Mean. Suaranya berat. Jelas dia sudah dipenuhi berahi.

"Astagaa!" bisik Plan dan ia menolehkan wajahnya dan mereka berciuman sebentar.

"Ayo ke kamar," bisik Mean lagi.

"Okay," lirih Plan.

Bersambung












SECOND LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang