Chapter 8

363 50 1
                                    

Mean membuka matanya. Ia menatap Plan yang tengah berbaring di sisinya dengan nyenyaknya. Ia menatap Plan sambil tersenyum bahagia. Orn benar. Perempuan yang kini terlihat semakin memukau memberikan banyak kebahagiaan untuknya. Dan ia sangat beruntung sebab hal yang tak mungkin kemudian menjadi mungkin pada akhirnya.

Perempuan itu telah membuka banyak hal untuknya, sebuah kesempatan dan cinta yang begitu besarnya. Mean tak akan mugkin menemukan perempuan lain seperti Plan dalam hidupnya. Sungguh ia harus berterima kasih kepada Orn dan juga mantan suami Plan yang telah melepaskan Plan dan membuatnya bertemu dengannya.

Intinya, Mean bahagia hidup dengan Plan. Plan juga sama. Ia bahagia dengan Mean dan ia juga mencintai Mean sama seperti Mean yang mencintai dirinya.

Mereka benar-benar bersyukur atas satu sama lain dan tak pernah melupakan Orn, tentunya. Bahkan, terkadang, saat Plan bercerita dengan antusiasnya tentang dirinya dan Orn kepada Mean, Mean terlihat sangat cemburu. Mean bisa jelas tahu sebesar apa rasa kasih sayang Plan kepada Orn.

Mean tak akan pernah tahu betapa besarnya peran Orn yang membuat Plan akhirnya bisa mencintai Mean secara perlahan. Semuanya dimulai dengan mimpi. Selalu saja tentang mimpi dan itu saat Mean dan Plan menginap di Vila dua hari sebelum pernikahannya Mean dan Jane.

Malam itu sesuai mereka bercinta, Plan bermimpi duduk di beranda yang sama di depan halaman Vila dan mengobrol dengan Orn. Plan begitu bahagia karena ia bisa bertemu lagi dengan Orn meski itu tidak benar-benar nyata.

"Aku sangat berterima kasih kepada Phi karena menjaga Hope untukku," ujar Orn sambil tersenyum lembut.

"Aku menyayangi semua orang yang kau sayangi. Jangan khawatir. Anakmu, anakku juga," ujar Plan sambil mengelus kepala Orn lembut.

"Terima kasih, Phi," ujar Orn.

Mereka bercerita tentang kenangan mereka ketika di masa muda sebelum akhirnya mereka berpisah karena Plan pindah.

"Phi, aku tahu ini adalah hal yang merepotkan, tapi bolehkah aku meminta sebuah permintaan lagi. Aku janji ini yang terakhir dan aku akan merasa tenang," sahut Orn sambil memegang tangan Plan.

"Uhm, katakan saja," ujar Plan sambil tersenyum lembut.

"Kalau bisa, akan kupenuhi," sambungnya.

"Tolong jaga Mean untukku. Cintai dia dengan sepenuh hati Phi. Mean akan bahagia jika bersama dengan dirimu. Begitu pula aku," sahut Orn.

Ekspresi di wajah Plan seketika berubah kaget.

"Orn, cinta tak bisa dipaksakan, apalagi dia akan menikahi Jane," ujar Plan.

"Hanya satu hari lagi," lanjut Plan.

"Akan ada caranya, Phi. Lagipula kau bisa merasakannya, bukan? Saat ia bercinta denganmu, kau bisa tahu bukan? Perasaannya tak berbohong.  Dia mencintaimu. Maukah Phi belajar untuk mencintai dia, untukku?" sahut Orn lagi.

"Kau tak marah dia bercinta denganku?" tanya Plan dengan wajah memerah.

"Dia milikmu sekarang. Kuserahkan dia kepadamu," uajr Orn sambil tersenyum.

"Aku sayang Phi dan Mean," ujar Orn lagi dan tetiba ia menghilang.

Plan membuka matanya. Masih tengah malam. Ia mendapati dirinya tengah dalam pelukan Mean. Ia menatap Mean yang tengah tidur nyenyak. Tangannya menjulur ke kepalanya dan kemudian mengelusnya pelan, kemudian tersenyum.

"Jika Tuhan menakdirkan kita untuk bersama, aku akan belajar mencintai dirimu," ujar Plan dengan suara yang lirih. Ia mengecup bibir Mean dan kemudian kembali tidur.

Begitulah.

Saat mereka menikah di Prancis dan tentunya tinggal bersama, dan menjalani kehidupan bersama, rasa itu mulai ada dan Plan menunjukkan perasaannya dengan terbuka.

Ini berdampak banyak pada interaksi mereka berdua, termasuk keberanian untuk saling menjelaskan isi hati seperti perasaan Mean waktu itu, bahwa ia tak punya keberanian untuk memberikan barang atau hadiah karena gaya Plan yang ia pikir sangat berkelas.

Perlahan, semuanya menjadi lebih baik. Keduanya saling terbuka dan berusaha. Dan hasilnya, luar biasa. Mereka menjadi satu langkah seirama  dan kompak dalam membina rumah tangga.

Benar, mereka akui bahwa keduanya adalah cinta kedua. Kedua hati mereka pernah diisi oleh  masing-masing pilihan sebelum mereka bersama. Cinta pertama, cinta kedua,  cinta ketiga, tak masalah. Yang paling penting adalah keduanya memutuskan bahwa mereka akan menjadi cinta terakhir dalam hidup mereka.

***
Kehidupan terus berjalan. Sejak melahirkan anak kembar lelaki mereka, Mean dan Plan memilih pindah ke Thailand ke rumah yang dulu Orn dan Mean tempati.

Mereka merenovasi rumah itu dengan menambah kamar karena anak-anak mereka semakin besar dan bertambah pula. Jeanne sudah dewasa, Hope sudah remaja dan kedua anak kembar lelaki mereka sudah berusia lima tahun.

Secara praktis, Jeanne sebenarnya tidak tinggal dengan Mean dan Plan. Dia tinggal dengan ayah dan ibu Plan di Wimbledon, Inggris karena sedsng berkuliah di sana. Namun, ia punya kamar di rumah Mean dan Plan juga karena biasanya ketika liburan, ia akan pulang ke Thailanda dan menikmati waktu dengan keluarganya.

***

"Hah! Tidak lulus! Yang benar saja!" ujar Mean kaget.

"Kenapa?" sambungnya.

"Mean, jangan marahi Hope. Kau tinggal bicara ke gurunya dan minta saja untuk remedial. Gampang, bukan?" Plan menggelegkan kepalanya.

"Hope tidak pernah suka matematika, tapi lukisannya sangat bagus. Biarkan saja! Jangan terlalu memaksanya. setiap anak itu berpotensi dan mereka dianugerahi dengan kemampuan yang berbeda. Tidak perlu menekannya. Biarkan dia bahagia dengan yang dia miliki lalu kita dukung untuk lebih mengembangkannya," sahut Plan.

"Oke, besok aku ke sekolah Hope dan menjelaskan yang harus dilakukan," sahut Mean.

"Nah, kau dengar ibumu! Dia bahkan mendukungmu. Jangan besar kepala! Tetap rajin belajar!" omel Mean.

"Iya, Pho, aku tahu," ujar Hope sambil pergi ke kamarnya.

Nah, begitulah kehidupan sehari-hari keduanya sekarang dengan anak-anaknya dan  rutinitasnya. Selalu ada masalah, kecil atau besar, mereka pasti menanggapinya dengan baik. Masih banyak lagi contoh kehidupan lainnya. Namun, intinya, Orn benar. Mereka mengenyam kebahagiaan.

***

Berbeda dengan liburan musim panas kali ini, semua anak-anak Mean dan Plan dibawa orang tuanya ke Inggris, termasuk Hope. Orang tua Plan juga sangat menyayangi Hope. Mereka kenal dengan Orn dan mereka juga sangat sayang kepada Orn.

Orang tua Plan sangat berterima kasih kepada Mean karena menjaga dan menyayangi Plan dan Jeanne dengan sangat baik dan tulus. Mereka menerima Mean dan hubungan mereka sangat dekat.

"Aaaah, nnnngh, hmmmmm, Meaaan, nnngh, pelan- pelan," rintih Plan sambil mengeratkan pelukannya.

"Enaaak, Babe, maafkan aku! Nnnnngh, aaaaah!" desah Mean dan ia melambatkan pace goyangannya.

"Uhm, aku juga, ini enaaaak! Aaaaa, Tapi ada, nnnnngh, aaaah, bayi di perutku!" desah Plan sambil tersenyum dan meraup bibir Mean lalu berciuman sebentar.

"Serius!" Mean kaget dan ia menghentikan goyangannya.

"Iya, aku serius! Pelan-pelan saja, na! Tidak ada orang! Kita nikmati na!" desah Plan.

"Astagaa! Baby, kau tak apa-apa mengandung lagi. Sebelumnya kau sangat repot! Dan aku tak mau melihatmu seperti itu!" ujar amean dengab wajah khawatir.

"Aku ingin punya keluarga besar. Tidak apa-apa. Lagipula, ini salah siapa, ya?" delik Plan sambil menggoda Mean. Mean tersenyum dan menggaruk kepalanya.

"Oke, lain kali lebih hati-hati," lirih Mean dengan nada menyesal. Plan tersenyum. Ia membelai rambut Mean lembut.

"Lanjutkan! Nanggung nih! Lagi enak!" desah Plan.

"Uhm," gumam Mean.

Keduanya berciuman dan menikmati romantisme akhir Minggu tanpa diganggu anak-anak mereka.

Tamat.



SECOND LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang