Malam semakin larut. Ruma tak bisa memejamkan mata di tempat asing begini. Kamar tamunya nyaman, lebih bagus dari kamar kosannya. Tapi Ruma belum juga terlelap. Lagipula, belakangan ini tiap kali ia hendak tidur, otaknya pasti memutar ingatan pelecehan itu.
Ruma sudah sebisa mungkin tak ingin teringat, tetapi kejadian itu seolah melekat. Kadang-kadang, Ruma merasa tubuhnya gemetaran sendiri.
Pintu kamarnya diketuk pelan, Ruma terlonjak bangun. Memakai kembali kerudung sebelum membuka pintu.
"Sudah kutebak kamu belum tidur."
Mengerjap sebentar, Ruma ternganga kala Ares menyodorkan sebuah gelas berisi susu. Apa maksudnya?
Ares berdehem dengan wajah sinisnya. "Aku nggak suka. Terlalu manis, daripada kubuang mending buatmu saja."
Kala menyentuh gelas, rasa hangat mengisi tangan. Ruma memandangi Ares lekat, lalu tersenyum tipis.
"Kak Ares suka susu?"
Ares mengedip-ngedip. "Suka." sahut pria itu, mendadak salah tingkah.
Otak mesumnya berjalan menuju koslet. Dia suka susu, memang. Tapi lebih suka susu yang dimiliki perempuan. Shit, kok dia jadi panas dingin begini ditanyai Ruma? Ares tahu pertanyaan Ruma bukanlah untuk menggoda.
"Oh," Ruma merunduk. "Makasih kak." perempuan itu menggerakkan gelas di tangannya.
"Aku boleh masuk?" Ares berdecak sesaat Ruma terdiam bengong, dengan enteng laki-laki itu langsung melangkah ke kamar. "Tutup pintunya."
Ruma merinding seketika. Dia gamang, lalu Ares lanjut bilang seolah paham dengan kengerian di wajah istri gelapnya.
"Kalau ketahuan yang lain bisa jadi masalah, Ruma. Apa yang kita sembunyikan akan terbongkar."
Ares duduk di tempat tidur, menyender di kepala ranjang seraya menunggu perempuan itu turut menjatuhkan diri di sana.
"Susunya nggak diminum?"
Ruma menatap gelasnya cukup lama sebelum menenggak minuman itu pelan-pelan. Dia menyeringit sesaat, rasanya pas. Manisnya tidak keterlaluan seperti yang Ares bilang, apa Ares tidak terlalu menyukai manis?
"Sini." Ares meminta gelasnya lalu menaruhnya di nakas. "Bagaimana?"
"Apanya?" Ruma duduk menyamping di ujung ranjang, berhadapan dengan Ares.
"Adnan!" gerutunya. "Kamu melihatnya dengan berbinar, naksir?"
Kepala Ruma sampai miring melihat Ares mengeraskan rahang. Dengan tenang Ruma menggeleng kalem.
"Mas Adnan-"
"Mas?!" sela Ares seketika. "Kamu memanggilnya, Mas?" ulangnya, sengit.
"Iya. Aku ngerasa nggak sopan kalau panggil nama saja, kak." jawab Ruma.
Memangnya salah ya? Adnan saja setuju.
Ares mendengus keras. "Jangan lupa diri, Ruma. Dia tak akan pernah menyukaimu. Nggak usah ngayal untuk jadi pasangannya!"
Untuk sesaat, Ruma tersentak. Cepat dia menyangkal Ares. Lagipula, Ruma tidak pernah berpikiran begitu. Ares kenapa sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted mistresses
SpiritualSakilah Rumaisha Zahra seorang penulis aktif yang mengalami tragedi mengerikan saat kembali ke kota Jakarta. Dari tragedi tersebut, Ruma harus menanggung luka seumur hidup dan terpaksa hidup bersama sosok yang bahkan tak pernah ia kenal, Alresca Gra...