Meskipun ia hanya berpura-pura mempunyai hubungan darah dengan Bi Anum, nyatanya Ruma cemas betulan mendengar perempuan yang tak lagi muda itu jatuh sakit.
Belum lagi fakta jika Bi Anum sendirian di Ibukota, keluarga aslinya tinggal di desa. Bi Anum kerepotan mengurus dirinya sendiri sembari bekerja. Tak jarang rasa sakit yang ia rasakan, ditelan diam-diam.
Makanya kala Ruma, perempuan yang dibawa Ares itu merawatnya begitu telaten dan tulus, Bi Anum merasa terharu sekali.
"Minum dulu, Bi." Ruma membantu Bi Anum bangkit dari tidurnya.
Usai menenggak setengah air hangat putih, Bi Anum tak kuasa menahan air matanya. Dia memegang kedua tangan Ruma erat-erat. Menepuknya beberapa kali dengan tepukan khas seorang Ibu. "Ya ampun, kamu jadi kerepotan ngurus orang asing kayak Bibi, nak. Terimakasih banyak."
Kepala Ruma menggeleng beberapa kali dengan lucu. "Bibi udah anggap Ruma kayak anak sendiri, jadi... sudah sepatutnya Ruma pun menganggap Bibi layaknya keluarga sendiri."
Bi Anum menghela nafas, mengingat Ares memintanya untuk menjadi salah seorang yang memperhatikan Ruma. Ada sesuatu yang anak majikannya itu sembunyikan.
"Ruma, apapun yang dilakukan Aden pada kamu, semoga itu hal yang baik." ucap Bi Anum, sampai detik ini tak tahu maksud dibalik sandiwara yang dilakoninya demi Ares. "Aden itu sepertinya peduli sekali dengan kamu."
Ruma hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ya, Ares memang peduli karena perasaan bersalah yang mencengkeram lelaki itu atas kecelakaan Sembilan tahun lalu. Tapi Ruma bukanlah prioritas bagi Ares.
***
Esok harinya, Ruma belum juga pergi dari rumah orangtua Ares. Lelaki itu sendiri belum kelihatan sejak semalam. Ruma sedikit cemas, pasalnya ia tak tahu sampai kapan harus tetap di sini.
Di rumah Ares, biasanya Ruma tidak berpangku tangan begitu saja. Dia banyak membantu para pekerja lain mengerjakan tugas rumah tangga. Entah mengapa Ruma merasa tidak enak hati jika hanya diam saja.
"Halo, Ruma." Adnan menyapa saat hendak mengambil air mineral.
"Halo, Mas." balas Ruma, tersenyum tipis.
Adnan menutup kulkas, lantas mengucap terimakasih kala Ruma memberinya gelas.
"Bi Anum gimana keadaannya? Sudah jauh lebih baik?" Adnan duduk terlebih dahulu sebelum menenggak minumannya.
Ruma mengangguk kecil, tugasnya untuk mencuci piring telah Rempug. Lalu Ruma menoleh pada Adnan dengan wajah penuh kelegaan. "Bibi kayaknya kecapean belakangan ini. Demamnya udah turun, tapi Bibi masih lemas."
Adnan menghela nafas. "Bibi memang nggak pernah bisa diam. Walaupun kami memintanya untuk istirahat, Bibi selalu saja memastikan kondisi rumah."
Lalu Adnan melirik Ruma lekat-lekat, sebuah ide melintas di kepalanya. Dan Adnan tanpa malu-malu mengutarakannya. "Ruma, apa kamu masih sibuk hari ini?"
"Enggak, Mas."
"Good," Adnan berseru senang. "Ayo kita belikan kue kesukaan Bibi." lanjutnya, sampai berdiri. "Aku tahu Bibi suka sekali kue lapis!"
Eh? Ruma mengedip linglung beberapa detik. Agak terkejut oleh ajakan Adnan. Bolehkah?
"Aku akan panaskan mobil. Kamu siap-siap, oke? Bibi pasti seneng banget!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted mistresses
SpiritualSakilah Rumaisha Zahra seorang penulis aktif yang mengalami tragedi mengerikan saat kembali ke kota Jakarta. Dari tragedi tersebut, Ruma harus menanggung luka seumur hidup dan terpaksa hidup bersama sosok yang bahkan tak pernah ia kenal, Alresca Gra...