"Let me try it, Ruma. Your spicy lips."
"Sweet." Ruma menyela, sedikit gentar karena kedekatan mereka juga suara serak lelaki itu.
Ares menyeringai, memangkas jarak semakin tipis. Sepasang mata Ruma memandanginya lekat, seolah waspada juga terikat. Wajahnya yang semula pucat mulai memerah dengan nafas tertahan. Sial, ekspresi takut yang ditunjukkan wanita itu malah membuat isi kepala Ares berantakan.
"Oh, ya?" satu tangan Ares naik tanpa bisa ditahan, menyentuh sisi wajah kiri Ruma lantas merambat ke kepalanya. "You promise me." bisik Ares, menarik wajah Ruma sembari memiringkan kepala.
Dan sesuatu yang tidak pernah Ruma bayangkan sebelumnya terjadi. Hal yang sebaliknya Ares coba enyahkan sejak tadi.
Ciuman itu sungguh datang dengan cepat, singkat dan lembut. Ruma termangu di posisinya, menahan nafas melihat wajah Ares tepat di depannya. Lelaki itu turut diam usai melabuhkan sebuah kecupan, melirik sebentar wajah Ruma sambil membasahi bibir bawahnya dengan lidah.
Wajah perempuan itu berubah semakin merona. Kilat terkejut, caranya menatap dengan pupil membesar membuat sekujur tubuh Ares semakin terbakar.
Sebelum sempat mengatakan apa-apa, Ruma terbelalak ketika merasakan cengkeraman di kepala bagian belakangnya. Tidak sakit, hanya sedikit mengejutkan manakala Ares menarik dirinya semakin dekat hanya untuk kembali melabuhkan ciuman.
Ares pasti sudah gila. Atau Ruma yang gila. Entahlah, lelaki itu mengecap semakin lama. Mencium semakin dalam. Membuat keduanya sama-sama nyaris kehabisan nafas.
Ruma sendiri, yang baru kali pertama merasakan sensasi asing itu hanya mampu memejamkan mata. Sebelah tangannya memegang lengan Ares kuat-kuat. Dia kembali tersentak sesaat merasakan usapan lembut di sekeliling pinggangnya.
Sialan. Ares mengumpat dalam diam, meski Ruma hanya diam dengan sesekali menggeliat, hasrat Ares telah mencapai ubun-ubun. Gadis amatiran ini... tidak bisa disepelekan.
Ares menarik diri ketika Ruma memukul pelan bahunya. Perempuan itu merenggut, mengais udara dengan rakus. Hal yang membuat Ares yang menontonnya semakin tidak terkendali.
"Kak—"
Ucapan Ruma terpental ketika Ares menaikkan dagunya ke atas, lantas sebelah tangan Ares mengunci tangan Ruma di sisi kepalanya.
Brengsek.
Ares memaki diri sendiri. Air dingin seperti menyiram kepalanya mendengar Ruma mengerang kesakitan, sembari mencoba meloloskan diri. Nyaris saja dia hilang kendali, sialan.
Ruma semakin mengkerut di pintu kala Ares melepaskan dirinya. Ia menatap Ares dengan tatapan kesal, marah, rikuh nan malu. Sedikit aneh.
Ares sendiri tak berkata apa-apa, dia turut kesal juga bingung. Mengusap pelan kepalanya, Ares menunjuk ke belakang tubuh Ruma.
"Temanmu memanggil." katanya, mendengar suara lelaki bangsat yang sejak tadi meneriaki nama istrinya.
"Ruma! Lo ngapain sih di kamar? Ini tempat micin lo yang mana?"
Ruma terlonjak kala pintu kamarnya digedor. Jantungnya yang sejak tadi menggila mulai sedikit tenang, namun masih belum mereda rasa takjubnya.
"Rum? Tidur lo?"
"B-bentar, Anta!"
"Oke. Cepetan keluar, gue bingung bedanya micin sama garem!"
"I-iya, jangan diotak-atik!"
Ruma melirik sekilas ke arah Ares, lantas wajahnya merona lagi. Entah mengapa dia merasa salah tingkah setelah melakukan hal itu.
Buru-buru Ruma berbalik, nyaris menyambar gagang pintu sebelum tangannya kembali ditahan Ares.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted mistresses
EspiritualSakilah Rumaisha Zahra seorang penulis aktif yang mengalami tragedi mengerikan saat kembali ke kota Jakarta. Dari tragedi tersebut, Ruma harus menanggung luka seumur hidup dan terpaksa hidup bersama sosok yang bahkan tak pernah ia kenal, Alresca Gra...