Usai kondisi Bi Anum membaik, Ruma kembali menempati kosan nya. Tanpa pamit pada Ares, Ruma pulang bersama Anta. Dia masih sakit hati atas tuduhan Ares yang tak berdasar.
Sore ini Ruma telah janjian dengan Sia, gadis remaja yang kepergok mencuri di market sebelum ia tolong.
"Kak Ruma!"
Tempat yang dipilih Sia adalah kafe kopi terkenal yang mudah ditemukan hampir di setiap kota. Ruma berdiri menyambut gadis yang tersenyum lebar tersebut. Dia dibuntuti oleh seorang remaja laki-laki. Dari raut wajahnya, sepertinya Sia berhasil memaksa pemuda itu ikut serta.
"Baru pulang sekolah, ya?" tanya Ruma ramah, mendapati keduanya sama-sama masih memakai seragam.
"Iya, nih." Sia lantas melirik ke arah meja. "Wah, ternyata Kak Ruma udah pesen makanannya ya."
Ruma mengangguk. "Minumannya belum. Aku kurang tahu selera Sia, kalian pesen saja, ya. Kalau makanannya ada yang kurang, tambah saja." Ruma menarik sebuah kartu dari dompet kecilnya. "Ini, pakai punyaku." melihat gelagat Sia yang hendak menolak, Ruma buru-buru menaruh kartu tersebut dalam genggaman Sia. "Aku yang ngajak kalian ketemuan lho. Jangan sungkan pakai, ya."
Pemuda di belakangnya menepuk pundak Sia. Lewat gerakan dagu, dia menyuruh Sia untuk mengembalikan kartu Ruma. Sia yang paham lantas kembali menoleh pada Ruma. "Kak, si babu kayaknya lagi banyak uang. Sia mending pakai uang Kafka aja, deh."
"Ih, nggak boleh. Pakai punyaku saja, oke?" Ruma melirik pemuda yang tampak menghela. "Tolong, ya."
Sia terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. "Aku pakai ya, kak. Yang ikhlas lho." kelakarnya.
Ruma tertawa kecil. "Ikhlas kok."
"Yuk, babu." Sia sudah berbalik, tapi suaranya kedengaran. "Babu mau pesan apa?"
"Gorengan."
"Nggak usah ngadi-ngadi, lo pikir ini warteg?"
Ruma mengerutkan keningnya kala pemuda tersebut pasrah dijambak oleh Sia. Interaksi keduanya terlihat lucu di matanya, tanpa sadar Ruma bahkan senyum-senyum.
***
Secara garis besar, Ruma sebenarnya meminta tolong sekaligus mengajak Sia beserta temen-temennya untuk bersedia menjadi narasumbernya. Ia cukup tertarik kala Sia membeberkan segala macam situasi pelik yang remaja alami di masa kini. Apalagi jaman sudah berubah dan semakin canggih.
Contohnya. Bullying via media sosial yang begitu marak terjadi. Medsos memang membawa pengaruh besar, ada positif dan negatifnya. Seperti hitam dan putih. Kendalinya balik pada pada yang menggunakan. Bijak dan tidaknya kita memakai medsos akan berpengaruh pada tindakan kita dan orang lain.
Kini bukan hanya lidah yang tajam, tapi jari yang lincah mengomentari keburukan orang lain pun sama tajamnya.
"Kafka dulu juga di-bully lho kak, dia jadi kaku begini gara-gara nggak bisa bersosialisasi dengan benar habis masa trauma."
"Ngomong sekali lagi."
Ruma langsung mengubah atensi pada pemuda itu. Ini suara pertama yang keluar dari mulutnya usai mau duduk bersama. Dengan mata yang tajam, pemuda itu seolah memberi peringatan pada Sia.
Sia malah makin menjadi. "Kafka jadi korban bullying pas SMP. Nih anak dikatain wibu akut, nggak ditemenin karena cupu. Terus karena anaknya suka game, dia jadi pendiam. Mereka nggak tahu aja, dua tahun kemudian Kafka jadi gamers termahal se-Asia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted mistresses
SpiritualSakilah Rumaisha Zahra seorang penulis aktif yang mengalami tragedi mengerikan saat kembali ke kota Jakarta. Dari tragedi tersebut, Ruma harus menanggung luka seumur hidup dan terpaksa hidup bersama sosok yang bahkan tak pernah ia kenal, Alresca Gra...