Ruma masih tak berbicara sedikit pun ketika mereka kembali pulang. Ares berbasa-basi menawarkan makan, namun tetap tak ada jawaban. Gadis itu terpaku pada jendela dengan wajah tegang. Isi kepalanya pasti tengah berperang, mungkin juga ia ingin mencakar-cakar Ares sebagai pelampiasan marah.
"Kita bicara tentang semua ini nanti."
Tak ada respon, Ruma mencengkeram bajunya dengan kuat. Sakit sekali mengetahui sosok yang ia pikir pahlawannya ternyata malah yang merenggut kebahagiaannya.
Segala pedih, marah, amukan tertahannya seakan melonjak ingin keluar. Tenggorokannya kering karena mencoba menahan diri untuk tak memaki-maki Ares.
"Aku mau pulang ke rumahku." ujar Ruma pada akhirnya.
Ares meliriknya sekilas. "Nanti." balasnya, sambil lalu. "Aku perlu menjelaskan banyak hal."
"Nggak perlu." Ruma berkata dengan dingin.
"Aku nggak butuh persetujuanmu."
Untuk pertama kalinya, Ruma menoleh pada Ares. Kesal, tatapannya kini beralih sinis. Namun ia tahu, sekuat apapun ia mendebat Ares, lelaki ini tak mungkin mau mengalah.
Pasrah sekaligus tak punya kekuatan untuk melawan, Ruma memasuki apartemen Ares dengan lesu. Rasanya ia capek betul, belakangan ini masalah terus mendatanginya.
"Istirahat, nanti kita bicara." ujar Ares, melepas jaketnya. "Pakai kamarku, aku tidak akan masuk."
Ruma melenggang begitu saja tanpa melirik Ares. Ia memang butuh tempat sendiri untuk mengeluarkan segala keluh kesahnya. Ruma mau menangis tanpa dilihat orang lain.
Sedangkan Ares menuju balkon di sana, tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan satu kotak rokok. Ia menyulut lintingan tembakan itu, lalu menghisapnya kuat-kuat.
Ares menghembuskan asap tersebut dengan pelan. Seiring pikirannya mulai berjalan ke arah masa lalu.
Brengsek!
Bagaimana bisa perempuan itu adalah korban kebodohannya di masa lalu?
Mau tak mau, suka tak suka, Ares kehilangan keinginan untuk melepas wanita itu begitu saja. Perasaan bersalah menyelimutinya, Ares ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meski saat muda dia sudah lakukan.
Kepala Ares menunduk, sementara rokok tersebut tetap di bibir Ares. Lelaki itu tersenyum sinis, lalu berdecak kesal.
"Keparat!"
Di sisi lain, Ruma pun hanya bisa duduk di pinggir ranjang dengan tangisan yang berjatuhan. Meski tanpa suara, rasanya begitu sesak mengetahui Ares adalah pelaku tabrak keluarganya.
Kenapa harus Ares?
Sejujurnya Ruma telah lama ikhlas dengan kejadian yang menimpanya, namun meski begitu, ia sering kali diliputi rasa kehilangan dan per-andaian yang kerap hadir.
Andai keluarganya hidup...
Andai mereka masih bisa bersatu...
Dan mimpi-mimpi lain yang kadang membuatnya bisa menangis semalaman karena merindukan keluarganya.
Setahu Ruma, keluarga si penabrak sudah diproses pihak kepolisian. Kala itu ia hanya tahu cerita-cerita perkembangan kasus itu lewat Buya-ayah dari kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted mistresses
SpiritualSakilah Rumaisha Zahra seorang penulis aktif yang mengalami tragedi mengerikan saat kembali ke kota Jakarta. Dari tragedi tersebut, Ruma harus menanggung luka seumur hidup dan terpaksa hidup bersama sosok yang bahkan tak pernah ia kenal, Alresca Gra...