Sekarang sudah pukul 9.00 pagi. Suara pisau memotong di atas talenan kayu dengan irama teratur terdengar jelas di dapur kecil. Terkadang, desis minyak mendidih yang menenggelamkan bahan makanan menjadi nada yang lain. Bahkan, air keran yang mengucur jatuh pun membentuk alunan menenangkan.
Dua jam kemudian masih terdengar keriuhan kecil di rumah berukuran 45 meter persegi itu. Seorang cowok jangkung dengan celemek berwarna putih sibuk mondar-mandir di antara kulkas, kompor, dan bak cuci piring. Wajah blasterannya terlihat begitu bahagia ketika menuang masakan terakhir dari wajan ke piring. Hidung mancung cowok itu menghidu aroma lezat masakan yang mulai memenuhi ruangan. Ada senyum puas terukir di bibir bervolumenya.
Sempurna!
Aran Kreshna Panuta baru saja selesai meletakkan empat piring menu yang berbeda di meja makan.
Sementara di sisi lain meja, duduk Cinia Atharidwani. Cewek mungil berambut ikal kemerahan sepanjang lengan yang kini membelalak lebar. Bibir pucat yang memiliki lekuk tajam di bagian atas itu terbuka penuh keterkejutan.
"Nih, habisin semua! Papa lo 'kan lagi pergi dinas sebulan. Sementara beliau nggak ada, gue yang bertanggung jawab sama makanan lo!" Tangan Aran menyendok nasi dari rice cooker dan mengangsurkannya ke depan Cinia.
Kepulan asap beraroma sambal cumi tinta hitam yang gurih, segarnya capcay, lezatnya telur dadar, juga hangatnya tempe goreng tepung harusnya mampu membuat perut siapa pun berdendang. Cowok itu bekerja cukup keras untuk menyiapkan makan siang bagi cewek di hadapannya. Namun, Cinia terlihat tidak senang.
Cewek yang kini duduk di kelas XII MIPA 3 itu mengangkat alis kanannya sembari menarik napas panjang. Dia tak pernah mengerti pemaksaan yang selalu dilakukan tetangga sekaligus teman sekelasnya itu sejak mereka berkenalan enam tahun lalu. Aran seperti menjadi pengganti ibunya yang sudah tiada.
"Yang bener aja! Mana bisa habis semua!" Mata bulat Cinia mulai mengira-ngira kapasitas perutnya yang mungil dengan hidangan yang bisa membuat empat kuli bangunan kenyang itu.
Memang tampilan makanan yang terhidang luar biasa cantik. Kalau Cinia bakat memotret, pasti Instagram-nya sudah terkenal karena Aran begitu rajin menghias setiap piring dengan ukiran mentimun, tomat, juga selada segar. Cara cowok itu memilih gabungan menu, juga luar biasa cerdas.
Hanya saja, Cinia jelas tidak mungkin menghabiskan begini banyak hidangan. Terlebih lagi, saat ini dia sama sekali tidak nafsu makan.
Aran menyugar rambut lurus berbelah pinggirnya tak acuh. Diamatinya Cinia yang siang ini hanya mengenakan kaus oblong putih bergambar superhero kesukaannya. Kaus yang kebesaran itu membuat kesan bahwa Cinia ingin menenggelamkan diri di dalamnya. Karena memang, proporsi tubuh Cinia memang sudah amat-sangat-terlalu-kurus-sekali di mata Aran.
Dengan usia yang sudah 18 tahun, tinggi Cinia hanya 149 cm. Beratnya bahkan cuma 37 kg. Sangat berbeda dengan Aran yang menjulang hingga 184 cm dengan bobot 73 kg. Jika berangkat sekolah bersama, Aran seperti berjalan dengan adiknya yang masih duduk di bangku SMP.
Kulit Cinia cenderung pucat seperti vampir kurang darah. Separuh karena anemia, separuh lagi karena dia nyaris tidak pernah terpapar matahari kecuali saat pulang-pergi sekolah. Itu pun harus mengenakan topi atau Cinia akan merasa pusing luar biasa.
Aran sebaliknya. Meski darah Italia mengalir dalam tubuh, kulitnya kini sudah tidak seputih dulu akibat terlalu sering terpapar matahari. Aran gemar berolahraga. Namun, dari semua olahraga yang ada, cowok itu memilih berenang. Alasannya sederhana. Dia punya kolam renang pribadi di belakang rumah yang bisa dipakai sesukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magicamore Arancini (Edited Version)
Roman pour AdolescentsAran ingin mengembalikan kebahagiaan dan selera makan Cinia menggunakan resep masakan sihir rahasia dari mendiang neneknya. Masalahnya, Cinia seseorang yang sulit makan, juga pengidap anosmia karena kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya hingga depre...