Written by : @VinnyMarande
"Jadi, apa rencanamu?" Bram duduk bersandar di sofa. Masih menunggu jawaban dari temannya yang ikut duduk di hadapannya.
"Tidak ada rencana," gumam Bisma dengan nada yang berusaha dibuatnya tetap tenang. "Aku hanya berpikir bahwa mungkin lebih baik jika dia mengetahui kebenarannya." Bisma memejamkan mata untuk menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "itu satu-satunya cara bagi Ann agar dapat mengetahui cara yang terbaik untuk melindungi putrinya."
"Kau akan menemuinya?" tanya Bram. "Di cafe itu, maksudku."
Bisma menggelengkan kepala. Ribuan perasaan berkecamuk di dalam dirinya. "Ara adalah teman yang baik. Ann pasti mendapatkan apa yang selama ini ingin diketahuinya darinya."
"Jadi kau tidak akan menemuinya?"
Bisma tak menjawab. Setelah hening beberapa saat, ia tiba-tiba berdiri, meraih hoodie berwarna abu-abu miliknya yang tersampir di lengan sofa beserta kunci mobil dari atas meja kaca. "Aku hanya akan melihatnya dari jauh, memastikan ia baik-baik saja."
Bram menghela napas kasar. Ia tahu kalau ia tak akan bisa mengubah apa pun jika temannya itu telah membuat keputusan, tapi ia tetap berkata, "Untuk bertemu dengan Ann, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."
"Aku tahu," sahut Bisma setelah ia sempat bergeming sesaat. Pandangannya merenung sambil mencoba menahan semua perasaan dalam dadanya. "Tapi aku menyadari satu hal."
Alis Bram terangkat samar. "Apa itu?"
Seulas senyuman sendu terbentuk di wajah pria berkulit pucat itu, tepat sebelum kalimat yang membuat hatinya terkikis lebih dalam itu meluncur keluar dari bibirnya, "Ternyata aku masih sangat merindukannya."
***
Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Telah satu jam penuh aku duduk menunggu di sini tanpa ada tanda-tanda kehadiran seseorang yang mengirim pesan sebelumnya kepadaku. Aku menggigit bibir. Ara saat ini sedang sibuk melayani pelanggan lain sementara aku masih duduk menunggu seorang diri sambil memandang ke luar jendela cafe.
Tanganku kemudian bergerak mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membuka kembali pesan dari nomor tak dikenal yang sebelumnya menyuruhku untuk datang ke tempat ini.
Datang ke Cafe Mentari sekarang kalau kau ingin mengetahui tentang masa lalumu.
Setelah bertemu dengan Ara, aku memang mendapatkan sebagian besar dari kepingan masa lalu yang selama ini ingin kuketahui. Ingatan masa lalu yang seakan ingin ditutup rapat-rapat oleh Mario dan keluarganya. Aku sempat berpikir, apa itu maksudnya menyuruhku untuk datang ke tempat ini? Untuk bertemu dengan wanita itu? Namun entah mengapa, meski telah mengetahui sebagian dari masa laluku, rasanya seperti masih ada sesuatu yang kurang dari semuanya itu. Dan aku tidak tahu apa itu.
Aku mencoba untuk menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Terlalu banyak. Terlalu banyak hal yang membuat dada ini sesak karena tak sanggup oleh beban yang diterimanya.
Kumasukkan ponselku kembali ke dalam tas, setelah itu beranjak dari tempatku. Untuk saat ini, sebaiknya aku segera pulang sebelum Mario kembali ke rumah.
"Kau sudah mau pergi?" tanya Ara ketika aku hendak beranjak ke luar cafe setelah membayar makananku.
Aku tersenyum, lantas mengangguk. "Terima kasih karena membantuku mengetahui masa laluku," ucapku. "Aku senang dapat bertemu denganmu."
Ara ikut tersenyum. "Aku senang dapat membantu," katanya ceria. "Kau tahu, kau bisa mencariku kapan saja jika kau butuh bantuan." Lalu ia mengedipkan sebelah mata. "Kukatakan itu agar mengingatkanmu bahwa dulu kau dan aku sudah seperti saudara. Jadi kau tak perlu sungkan padaku."
"Terima kasih karena mengatakan itu," ucapku tersenyum kecil. Hatiku serasa lebih tenang, mengingat di masa lalu aku mempunyai teman sebaik dirinya.
Setelah berpamitan pada Ara dan keluar dari cafe, aku baru saja hendak memesan taksi sampai kemudian sesuatu seakan menarik perhatianku.
Pandanganku tiba-tiba terpaku pada seorang pria dengan hoodie abu-abu yang berdiri di trotoar seberang jalan. Aku tak bisa mengenalinya karena posisinya yang membuat wajahnya sedikit tertutupi, namun sebuah desiran aneh terasa di hati ini begitu melihatnya. Perasaan apa ini?
Untuk sesaat dan hanya sebentar, pandangan kami akhirnya bertemu. Dari reaksinya sepertinya pria itu mengenaliku. Melihat dirinya yang kemudian mengalihkan pandang dan segera beranjak dari tempatnya berdiri.
"Tunggu ...." Aku tak mengerti, mengapa tubuh ini refleks mengejarnya. Bergegas menyeberangi jalan sebelum kehilangan sosok pria yang bahkan tidak kuketahui siapa. Entah mengapa hati ini seperti mengenalnya. Hati yang tiba-tiba terasa sesak dengan perasaan aneh yang tidak kumengerti.
Aku baru mencapai separuh jalan, namun rasa sakit di kepala ini kembali berulah. Sakit. Pikiranku sadar bahwa aku masih berada di tengah-tengah jalan yang dapat sangat berbahaya karena banyaknya kendaraan yang melintas. Namun rasa sakit di kepala ini membuatku tak bisa bergerak.
Aku terduduk di tempat sambil mencengkeram kepala dengan kuat. Bersamaan dengan itu, sekelebat potongan ingatan dan desingan suara-suara melintas begitu cepat dalam kepalaku. Di antara semuanya itu, hanya ada satu suara yang terus menggema dan terdengar jelas. Sebuah suara yang seakan berhasil menusuk hati ini sampai ke bagian terdalam.
"Aku mencintaimu, Ann."
"Ann."
"Ann!"
Kurasakan tubuhku terguncang. Napasku masih memburu begitu suara itu berhenti menggema dalam kepalaku, tergantikan dengan suara klakson mobil yang saling bersahut-sahutan. Untuk sesaat, kukira aku akan mati di sini.
Kakiku yang lemas terasa bergetar saat seseorang membantu menuntunku mencapai seberang jalan.
"Ann, kau baik-baik saja?"
Suara rendah yang terdengar persis di sebelahku membuatku mendongak. Pada saat itulah, aku melihatnya. Aku baru menyadari, bahwa dia, pria berkulit pucat yang baru saja menuntunku adalah pria ber-hoodie yang sebelumnya ingin kuhampiri. Dan ya, dia adalah pria yang sama yang kutemui di makam tempo hari.
Dapat kulihat raut wajahnya yang cemas saat menatapku.
"Siapa kau?" tanyaku. Meski aku telah mempunyai dugaan tentang siapa sebenarnya pria ini, tapi aku ingin mendengar jawaban langsung darinya.
Namun ia tidak menjawab. Matanya yang sendu hanya menatapku dalam keheningan. Dadaku kembali terasa sesak.
"Kaukah itu?" lirihku, tanpa mengetahui dorongan apa yang membuatku bertanya padanya. Terkesan aneh, tapi hatiku seakan yakin bahwa dialah orang yang selama ini kutunggu. "Kaukah orang yang pernah berkata mencintaiku?"
Ekspresinya berubah. Namun aku tak mengerti pertanda apa itu. Tatapannya begitu dalam, hangat, dan tersirat rasa sakit. Sampai ia kemudian mengucapkannya, "Aku mencintaimu, Ann."
Suara itu, suara yang yang persis sama seperti yang terus menggema dalam kepalaku. Suara yang masih tersisa dalam kepingan ingatanku.
Aku masih bergeming sampai kulihat bibirnya membentuk senyuman tipis. "Tapi aku bukanlah orang yang harus kau cintai."
Hatiku sudah tak tertahankan lagi. Air mataku keluar dengan sendirinya. Padahal apa yang dikatakannya memang benar. Walaupun seperti yang dikatakan Ara, bahwa aku dan pria ini pernah menjalin hubungan di masa lalu, tapi aku sekarang telah mempunyai keluargaku sendiri. Aku mempunyai Mario di sisiku. Mario adalah satu-satunya pria yang harus kucintai.
Tapi kenapa? Kenapa hatiku terasa begitu sakit?

KAMU SEDANG MEMBACA
BK1 - Samar
Romance"Ada apa Ann? Kau mencari Mario? Dia sebentar lagi akan sampai. Si bodoh itu seperti akan gila kalau kau tidak juga bangun." Untuk suatu alasan, kepalaku menolak nama itu. Seolah bukan dia yang aku tunggu. "Siapa kau? Siapa kalian?" Aku tidak tahan...