Written by: dkyfarida
Aku mencekal pergelangan tangannya, tidak ingin lagi kehilangan untuk kesekian kalinya. Laki-laki dengan hoodie abu-abu itu menengok ke arahku yang sudah berkaca-kaca menatapnya.
"Kenapa, kenapa kau ingin pergi? Apa kau yang bernama Bisma, seperti yang dijelaskan oleh Ara padaku?" tanyaku sembari melepaskan cekalan ditangannya.
Laki-laki itu bersamaku, berdiri di sisiku. Kami berdua berjalan menyusuri jalanan yang sepi oleh kendaraan. Aku sama sekali tidak merasa asing berada di dekatnya seperti ini. Malah aku merasa nyaman dan damai berjalan dengannya. Sejak tadi belum ada yang membuka suara lebih dulu. Laki-laki itu berkali-kali melirikku, tapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya.
Aku berhenti melangkah dan menoleh padanya. "Tolong, tolong katakan apa yang terjadi antara kita berdua. Bisma, benar bukan?" ucapku sedikit gemetar. Aku sangat yakin jika laki-laki inilah yang dimaksud oleh Ara. Orang yang memiliki masa lalu bersamaku. Bahkan laki-laki yang berada di depanku mengatakannya sendiri.
Sudah cukup sampai di sini, aku tidak tahan jika harus mengingat kepingan masa lalu tanpa ada orang yang terlibat. Aku ingin tahu apa yang terjadi di masa lalu, tentang siapa diriku.
"Itu benar. Akulah orang yang dimaksud oleh Ara. Maaf, aku seorang pecundang yang takut bertemu denganmu," balasnya setelah lama menutup mulut.
Aku mengernyitkan kening. "Katakan," pintaku. Aku ingin tahu semuanya.
Bisma menatap mataku dalam, hingga beberapa detik ia memutuskan tatapan itu. Terdengar helaan napas berat dari Bisma.
"Ara sudah mengatakan padamu, bukan. Lalu apa yang ingin kamu ketahui dari diriku?"
Entah keberanian dari mana, tubuhku terdorong untuk memeluknya. Namun, aku tidak merasakan tangan Bisma membalas pelukannya. Bisma melepaskan tanganku yang memeluknya. Tangannya berada di pundakku dengan senyum sendu yang ditujukan untukku.
Senyum di bibir Bisma tidak menunjukkan ia sedang baik-baik saja.
"Apa sekarang kamu sudah ingat dengan masa lalu yang kita lalui, hm?"
Aku mengangguk ragu, karena belum sepenuhnya ingat dengan jelas.
"Hm, aku ingat. Kau adalah laki-laki yang selalu menjadi alasan kenapa aku tidak menyerah dalam segala hal yang kulalui. Kau, orang selalu ada di setiap aku merasa terpuruk. Orang yang selalu membuatku tertawa, aku ingat sekarang." Aku tersenyum kecil.
"Bagus jika kamu sudah ingat. Tapi sekarang kondisinya berbeda, aku tidak akan lagi bisa menjadi orang yang pertama menolongmu jika kau terpuruk, bukan lagi orang yang akan mengisi hari-harimu dengan canda tawa. Kita beda posisi, Ann. Itu kesalahan yang aku perbuat. Aku gagal menjagamu malam itu. Sekarang kalian sudah bersama dan aku tidak masalah."
Aku tahu jika ucapan Bisma adalah kebohongan untuk menutupi lukanya. Tidak mungkin Bisma melepaskan aku begitu saja. Aku yakin sekali jika dia masih mencintaiku. Apa katanya, tidak masalah? semudah itu? Bisma pasti berbohong!
"Kau berbohong, Bisma! Dulu kamu bilang akan bersamaku hingga kita berdua menua." Air mataku luruh. Aku sadar jika yang kukatakan adalah sebuah kesalahan. Hatiku memberontak tidak terima dengan keadaan saat ini. Kenapa bisa ini semua terjadi?! Aku juga tidak bisa menolak dengan kenyataan sekarang bahwa aku sudah menjadi orangtua dari seorang gadis kecil. Tidak tahu harus mengatakan apa. Mulutku seakan terkunci, bahkan tangisan tidak bersuara.
"Ann, tolong jangan menangis. Kita tidak bisa bersama lagi. Kamu harus bisa melupakan tentang kita. Aku juga akan mencobanya."
"Ingatanku tentang kita baru saja kembali dan sekarang aku harus melupakannya lagi?" Tangisku semakin pecah. Bisma mencoba menenangkanku. Bisma memelukku, mengusap rambutku dengan lembut. Aku tidak yakin bisa melupakan Bisma dalam waktu singkat, ingatanku kembali pulih, mengingat bagaimana bahagianya aku bersama Bisma dulu.
"Kita tidak bisa bersatu seperti yang kita bayangkan dulu. Takdir berkata lain. Kamu sudah mempunyai seorang suami, bahkan juga gadis kecil yang mengemaskan. Cintailah Mario seperti kamu mencintaiku. Berjanjilah untuk berbahagia dengan Mario. Aku tidak bisa lagi melakukannya." Bisma melepaskan pelukannya.
Air mataku masih mengalir di pipi. Bisma mengusapnya seraya tersenyum teduh.
"Maaf. Percayalah jika takdir tidak akan salah arah. Ini takdir kita, Ann. Kita tidak bisa bersatu."
*
Aku pulang dengan mata sembab, beruntunglah Mario belum pulang. Aku segera masuk ke dalam kamar dan membasuh wajah. Mataku bahkan masih merah. Aku mengambil handuk dan mengusap wajah. Lalu keluar dan melakukan sesuatu supaya mataku tidak terlihat sembab karena menangis.
Pintu terbuka dan aku segera menoleh cepat. Ternyata Shima yang masuk tanpa mengetuk. Aku tersenyum ke arahnya sembari merentangkan tangan menyambut tubuhnya untuk datang ke pelukanku. Shima berlari dengan boneka kelinci berwarna hijau di pelukan. Aku mengecup keningnya.
"Mama, kenapa?" tanyanya menatap mataku.
Aku tersenyum kecil sambil mencubit hidungnya. "Mama tidak kenapa-kenapa kok. Shima ngapain aja tadi sama Tante Devi, hm?"
"Um ... tadi Shima dibeliin es krim, terus kita juga main. Banyak pokoknya," jawabnya antusias menceritakan. Aku tersenyum mengelus kepalanya.
"Shima seneng?"
Gadis kecil itu mengangguk cepat.
"Ayo ikut Mama!" Aku menggendongnya naik ke atas kasur dan mendudukkannya di pangkuanku.
"Shima udah makan?"
"Belum, tapi Shima masih kenyang. Shima makan jajan banyak tadi. Mama gak marah kan?" ucapnya mendongak melihatku.
"Tidak, Mama tidak marah kok. Lain kali makan jajannya jangan banyak-banyak ya, gak baik. Shima mau Mama buatkan susu?" tawarku pada Shima. Ia mengangguk tersenyum manis.
"Baiklah, Mama buatkan dulu ya," ucapku menurunkan tubuhnya dari pangkuan. Aku turun dari atas ranjang.
"Mama!" panggil Shima dengan nada suara tinggi. Aku menoleh ke arahnya bingung.
"Iya, kenapa Shima?"
"Botolnya ada di ruangan Papa," ucap Shima memberitahu. Aku mengerutkan dahi, kenapa bisa botol susu milik Shima di ruangan Mario. Tidak biasanya Shima bermain di ruangan kerja Mario. Bahkan ruangan itu selalu terkunci jika Mario tidak di rumah. Lalu kenapa bisa botol susu Shima ada di sana.
"Kok ada di ruangan Papa? Shima masuk ke sana?"
Shima mengangguk lagi,"iya Shima ke sana sama Tante Devi sama Oma juga. Terus Shima lupa kalo bawa botol susu. Shima taruh di meja Papa," ungkap Shima membuatku bertanya-tanya.
Kenapa Devi dan Mama masuk ke ruangan Mario. Apa yang mereka lakukan di sana.
"Um, baiklah. Mama akan ambilkan. Kamu tunggu di sini ya," ucapku lalu keluar. Aku melihat kondisi rumah. Tidak ada Mama dan Devi, entah ke mana mereka berdua. Aku segera memasukkan kunci pintu dan masuk ke dalam ruangan Mario. Aku tahu di mana Mario menyimpan kunci ruangan ini, sebab itu aku bisa masuk ke dalam dengan kunci. Anehnya kenapa Mama dan Devi bisa masuk ke dalam? Apa mereka juga memiliki kunci cadangan dari ruangan ini?
Aku segera menutupnya kembali dan berbalik badan mengamati ruangan. Aku melihat botol susu milik Shima yang berdiri tegak di meja kerja Mario. Aku mengerutkan kening kala melihat satu laci lemari yang tidak tertutup rapat. Karena rasa penasaran, aku terdorong untuk mendekat dan berniat membuka laci tersebut.
"Apa Devi dan Mama yang membuka laci ini sebelumnya? Mereka mencari sesuatu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BK1 - Samar
Romance"Ada apa Ann? Kau mencari Mario? Dia sebentar lagi akan sampai. Si bodoh itu seperti akan gila kalau kau tidak juga bangun." Untuk suatu alasan, kepalaku menolak nama itu. Seolah bukan dia yang aku tunggu. "Siapa kau? Siapa kalian?" Aku tidak tahan...