Bab 11

35 3 0
                                    

Written by : cekamanbait


Walau ingatanku belum kembali sempurna, entah bagaimana aku bisa sangat yakin bahwa sebelumnya aku adalah seorang Ann yang tidak pernah merasa ingin tahu mengenai urusan orang lain, namun saat ini sepertinya perihal Mario dan keluarganya perlu pengecualian. Terdengar sedikit lancang, tetapi mungkin saja dengan membuka laci tersebut aku dapat menemukan sedikit informasi mengenai Mario. Ya, mungkin saja.

Telingaku mulai memasang pendengaran dengan sangat baik, berjaga-jaga jika saat itu juga Mario sekonyong-konyong pulang dan memergoki diriku yang tengah berada di ruang kerjanya. Tanganku mulai erat memegang gagang laci, mengumpulkan keyakinan untuk membukanya.

Krekk!

Mataku membelalak terkejut, tanganku merosot pelan dari gagang laci lemari tersebut kala menyaksikan pemandangan lain di ruangan itu.

"Shima!" Ya, Shima datang membuka pintu. Astaga Ann bodohnya kau sampai lupa mengunci pintu! Berulang kali aku merutuki kebodohanku.

Laci lemari itu belum sempat kubuka, kalah dengan kecepatan Shima yang terlebih dahulu membuka pintu ruangan. Tidak ada pilihan lain selain memasang raut wajahku sebiasa mungkin, kemudian memperhatikan langkah bocah kecil itu berjalan mendekatiku "kenapa sayang?" tanyaku lembut.

"Mama lama sekali, Shima haus." Aku tersenyum, rengekan Shima terdengar sangat manja di telingaku, membuatku gemas dan segera menggendong bocah itu pergi dari ruang kerja Mario. Kau hanya kurang beruntung saja, Ann! keluhku dalam hati sembari menarik napas panjang.

**

Jarum jam sudah menunjuk tepat pada angka dua belas. Bersamaan dengan itu, terdengar pula deru mobil yang kuyakini adalah mobil suamiku. Suamiku? Ah, rasanya terlalu aneh aku mengakui hal itu. Perlahan tapi yakin samar-samar kudengar suara langkah kaki menapaki anak tangga dan tidak lama kemudian pintu kamarku terketuk.

Dengan pelan aku berusaha melepaskan pelukan Shima yang tengah tertidur pulas. Jangan sampai bocah itu terbangun, atau kami akan bergadang sampai pagi untuk mendengarkan celotehan yang tidak akan ada habisnya.

Krekk!

"Baru pulang?" tanyaku berbasa-basi, padahal jika boleh jujur sebenarnya aku sama sekali tidak peduli. Malam ini, pikiranku masih terpenuhi memori pertemuanku dengan Bisma siang tadi sehingga tidak mampu untuk sekadar memikirkan kepulangan Mario.

"Iya, maaf membuatmu menunggu. Kenapa kau tidak tidur saja?" tanya Mario seraya menutup pintu, aku meraih tas kerja yang ditenteng Mario dan meletakkannya di atas nakas.

"Jangan kepedean, andai saja kau tidak menapaki anak tangga seperti raksasa, kurasa aku tidak akan terbangun," balasku dengan asal.

"Sungguh? Maafkan aku, Ann." Terlihat penyesalan di raut wajah Mario.

Pria itu kemudian beralih menggenggam tanganku, terasa sebuah elusan lembut di sana. "Tapi Ann, apa kau benar-benar jujur? Kau tidak sedang menungguku kan?" Ternyata penyesalan Mario tidak berlangsung lama, aku merasa bahwa tatapan Mario kali ini tengah menjahiliku. Dasar, semua pria memang berbakat menjadi buaya.

"Mario ...," lirihku disertai dengan sebuah senyuman paksa.

"Ya?" balas Mario tidak kalah lembut.

"Kusarankan lebih baik sekarang kau pergi mandi, aku sudah tidak tahan dengan bau busukmu," ketusku sembari membalikkan badan pria itu dan mendorongnya asal. Mario kembali berbalik dan membulatkan matanya pura-pura terkejut.

"Sekarang kau berani memfitnahku, Ann. Kurasa kau memang perlu membaui ketiakku." Mendengarnya aku lantas menarik sebelah sudut bibirku ke atas.

Tidak seperti para istri pada umumnya yang melepas dasi suami, menyiapkan air panas, atau bahkan menyiapkan baju, aku justru berbaring tidur meninggalkan Mario yang kini pasti tengah kedinginan di kamar mandi. Sudah kukatakan aku sama sekali tidak peduli!

**

"Selamat pagi, Ann." Suara Mario menyambutku saat pertama kali aku terjaga. Pria yang letaknya berada di seberang Shima itu tidak lepas menatapku dengan senyum tipis. Bukannya terpesona, aku justru mengerutkan dahi dan mendengus jijik. Entah apa yang telah terjadi, semenjak kepulangan Mario dari kantor tadi malam, pria itu bersikap sedikit aneh terhadapku. Seperti sedang mencoba mendekatiku, mungkin? Atau hanya perasaanku saja.

"Ah, ya. Pa-pagi Mario," sahutku ragu dengan suara parau khas orang bangun tidur. "Kau terlihat nyenyak sekali, Ann." Aku semakin yakin bahwa aku tidak sedang mengingau.

"A-aku harus turun ke bawah menyiapkan sarapan," balasku yang kemudian menuruni ranjang dan berlalu meninggalkan Mario.

Setelah satu jam berkutat di dapur membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk keluarga ini, akhirnya sekarang Mario, ibu mertuaku, Shima dan aku duduk bersama di meja makan.

"Masakanmu sungguh enak, Ann," puji Mario, kurasa pria itu tulus mengucapkannya karena ia terlihat begitu lahap menyantap ayam woku buatanku.

"Kamu salah, Mario. Tadi ibu menyaksikan Bi Sumi yang menyajikan ayam woku ini," sahut ibu mertuaku. Sebelumnya wanita tua itu memang tidak tahu bahwa aku yang memasak pagi ini karena dirinya sibuk lari pagi di kompleks perumahan.

"Maaf Bu, memang benar ayam itu masakan Bu Ann." Mendengar penuturan Bi Sumi, ibu mertuaku lantas tersedak. Bi Sumi yang memang tengah menuang air untuk kami, dengan sigap memberikannya kepada ibu mertuaku. Ibu mertua melirikku sinis. Kemudian suasana meja makan mendadak hening.

"Mario, hari ini aku berniat bertemu dengan Ralf, kakakku," ucapku memecah keheningan.

"Ah, ya. Boleh sekali, Ann. Akan kuantar," balas Mario yang kusetujui dengan anggukan.

"Mama, Shima ikut," pinta bocah kecil itu.

Aku mengangguk tersenyum. "Tentu, sayang."

"Sudah besar, sudah bisa memesan ojek online, kau akan terlambat jika mengantar dia," sahut ibu mertuaku sembari asik mengupas buah jeruk. Ingin sekali kuikat mulut wanita tua itu.

"Ibu jangan melupakan sesuatu, aku ini bos," jawab Mario jemawa. Keluarga ini memang benar-benar aneh, aku bisa mati cepat jika berlama-lama menghabiskan sisa hidup di rumah ini.

Benar saja, setelah selesai sarapan Mario menepati janjinya untuk mengantarku ke rumah Ralf. Sepanjang perjalanan tidak terdapat pembicaraan di dalam mobil itu yang membuatku jenuh.

"Mario," panggilku lirih. Mario hanya berdeham.

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanyaku dengan sedikit ragu.

"Tentu saja, apa pun."

"Mengapa kau menikahiku?" Aku ingin mendengar jawaban ini dari Mario. Aku tidak ingin hanya mendengar pernyataan dari satu pihak. Aku juga perlu mendengar jawaban dari sisi Mario. Sampai saat ini Mario dan keluarganya tidak ada yang tahu bahwa aku telah mengingat Bisma, pria masa laluku. Namun aku tidak ingin gegabah memberi tahu semua orang, karena bisa saja itu membahayakan diriku.

Kulihat Mario memasang raut wajah lain ketika mendengar pertanyaanku, pria itu kemudian melirih "Ann ...."

"Mario, kau tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mendapatkan ingatanku kembali."

"Kenapa kau tidak ingin aku mendapatkan ingatanku, Mario? Kenapa?" lanjutku tidak sabar ketika mendapati Mario hanya membisu.

Mario menghentikan mobilnya, pria itu menatapku lembut. "Ann, kita sudah sampai di rumah Ralf."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BK1 - SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang