Ipen Wiken, 20 Februari 2021
Tema: Insecure
Majas: Hiperbola
Keyword: Makhluk Bayangan, 180 Derajat, Pengambil Jiwa, Ada Aqua?, Lewat Tengah Malam
Jumlah kata: 500--2.000
Deadline: 21 Februari 2021, pukul 12.00 WIB.Deka menatap orang-orang yang melakukan aktivitas harian seperti biasanya melalui sebuah gubuk kecil di tengah sawah.
Matanya memang menatap, tetapi pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu saat dirinya berangkat kemari.
Saat itu, dia yang merasa malu berjalan dengan sang kakak hanya bisa menunduk.
Bagaimana tidak? Kakaknya memiliki tubuh tinggi tegap, rahang tegas, kulit sedikit cokelat dan kedua lesung pipi. Daren sang kakak adalah tipe pria idaman seluruh gadis di desa, berbeda dengan Deka.
Tubuh kurus kerontang, tinggi badan yang hanya 158 cm di usianya yang menginjak 17 tahun. Ditambah kulit putih pucat dengan bibir yang kering setiap saat. Jangankan para gadis, mungkin hanya nenek-nenek panti jompo yang menganggapnya tampan.
Saat melewati jalanan yang berada di antara sawah dengan padi yang mulai menguning tadi, dia tak sengaja menabrak pria paruh baya yang mengenakan topi.
Memang salahnya sendiri tidak memperhatikan jalan, membuat Deka meminta maaf saat pria itu berkata, "Kalau jalan yang fokus, Dek, lihat ke depan."
Sungguh, Deka semakin malu kala kakaknya hanya tertawa ringan sambil berkata "ada Aqua?" lalu memintanya duduk di gubuk kecil memperhatikan dirinya yang akan menangkap ikan di sungai bersama beberapa orang.
Dua perahu di sungai terlihat begitu tenang, kecuali saat Daren menarik jaring yang dipastikan menarik beberapa ekor ikan. Dia bisa makan ikan malam ini.
Ah, tetapi itu bukan hal penting.
Lagi-lagi Deka merutuki nasibnya yang tidak sebaik Daren. Dia pernah mengikuti saran teman sebayanya, membuat permohonan pada makhluk bayangan saat lewat tengah malam. Namun, saat dia melakukannya, tidak ada sesuatu yang terjadi. Dia masih terbangun dengan kondisi tubuh yang sama.
Makhluk bayang yang konon merupakan pengambil jiwa itu tidak nyata. Itu yang Deka yakini.
Menghela napas, Deka menatap pohon tinggi menjulang yang menurutnya bisa mencapai langit. Seseorang tengah menaiki pohon, mengambil buah yang mungkin sudah matang. Ah, lagi-lagi Deka merasa kecil hati.
Orang-orang bisa melakukan apa yang mereka suka, mendapat hasil sesuai yang diinginkan. Tidak seperti dirinya. Ingin begini, hasilnya berbanding 180 derajat dari perkiraan.
Entah berapa lama dia duduk termenung memikirkan segala kekurangannya, akhirnya dia memutuskan untuk keluar sejenak, sedikit berjalan menuju tepi sungai menghampiri sang kakak. Menunggu Daren bisa membuatnya mati bosan.
Lihat saja! Bahkan, Daren yang asyik menjaring ikan seperti lupa pada adiknya yang kini terlihat seperti mayat hidup.
Kulit pucat, mata sayu, seperti tidak memiliki semangat hidup.
"Kakak, aku bosan!" Deka berteriak membuat perhatian Daren teralihkan.
Pria berkulit cokelat itu mengulas senyum, menampilkan kedua lesung pipi yang membuatnya terlihat manis. "Duduk saja di situ, bermain bunga teratai atau memercik air. Sebentar lagi aku selesai."
Deka mendengkus, lagi-lagi dia diminta duduk menunggu, melakukan hal yang sama sekali tidak bermanfaat.
"Aku lelah duduk sejak tadi. Duduk, duduk, dan duduk. Selalu hanya diminta duduk. Aku sudah lelah duduk hampir satu dekade," sahut Deka mengundang kekehan kecil Daren.
Tanpa menjawab lagi, Daren mendayung perahunya, mendekati sang adik yang katanya "sudah duduk hampir satu dekade" itu. Yang benar saja. Bahkan, Daren ingat baru sekitar dua atau tiga jam dia menjaring.
"Siapa yang mengajarimu mengeluh, hm? Duduk hampir satu dekade? Jangan berlebihan. Ayo, kita pulang! Aku sudah mendapat cukup banyak ikan."
Deka bangkit, menuruti ucapan sang kakak. Lagi-lagi dia harus menunduk setiap berjalan saat semua orang menyapa Daren, melupakan dia yang juga berjalan di sampingnya. Sekecil itukah dia sampai orang-orang tidak melihatnya?
Atau, dirinya tertutup pesona sang kakak? Ah, sudahlah. Semua sama. Sama-sama tidak menguntungkan baginya.