Ipen Wiken, 13 Januari 2021 Tema: Adiktif Majas: Simile Keyword: Kayang Mayang, Tungkus Lumus, Adu Untung, Abang Berang, Paceklik Jumlah kata: 500--2.000
Ps: Cerita harus berhubungan dengan gambar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sore ini, Firda harus pulang ke rumah. Di bawah sinar mentari yang hendak tenggelam di ufuk barat, dia menarik mini koper yang terlihat tidak begitu berat.
Kuliahnya tengah libur panjang, dia benar-benar merindukan suasana desa, di dalam rumah berdinding kayu penuh kehangatan keluarga, makan bersama dengan menu sederhana. Ah, setidaknya makan dengan kangkung lebih baik daripada ayam geprek, seblak, ayam rica-rica, dan lain sebagainya yang dikemas dalam kemasan mie instan.
Mendengkus, Firda menendang kerikil di sepanjang jalan. Dia bukan orang kaya, maka dari itu tidak mampu untuk membeli kendaraan pribadi. Dia harus menaiki bus. Terlebih, tidak ada satu pun temannya yang berasal dari desa sama dengannya. Semuanya dari kota yang berbeda.
Duduk di sebuah halte bus, lagi-lagi dia mendengkus. Ditatapnya langit dengan warna yang tidak bisa dia deskripsikan. Dibilang malam, masih ada warna jingga yang terlihat kemerah-kemerahan dan sedikit merah muda. Mau dikata sore, bulan sabit berhias bintang terpampang di depannya. Argh, seperti fatamorgana saja.
Firda mengeluarkan makanan ringan dengan merk Tungkus Lumus dari dalam tasnya. Untuk kesekian kali, dia kembali mendengkus. Dia harus berhenti menikmati makanan ini.
Makanan dengan rasa pedas yang begitu terasa, bahkan aromanya saat baru membuka bungkus saja sudah bisa ditebak. Semerbak bau bubuk cabai yang menusuk indra penciuman.
Jika ibunya tahu, beliau akan marah besar ketika mengetahui anaknya masih menikmati makanan ringan dengan kadar cabai yang katanya mencapai sepuluh kilo. Sudah lambungnya bermasalah, sangat suka pada pedas! Dasar Firda!
Kembali memasukkan makanan ke dalam tas, Firda mendongak menatap kumpulan burung camar yang seperti ikan pari terbang di langit. Susah payah dia menghilangkan candu pada makanan ringan itu, sampai kayang mayang pun rasanya begitu sulit. Jika boleh hiperbola, makanan Tungkus Lumus itu seperti separuh hidupnya.
Firda berani adu untung, jika dia bisa terlepas dari makanan ringan yang membuatnya candu ini, dia akan menjadi budak abang berang selama liburan penuh.
Walau Tio sang kakak yang dia juluki abang berang itu menyuruhnya membuang tai sapi, dia akan rela jika dia berhasil melepas ketergantungan dari makanan ini. Sayangnya, butuh waktu seumur hidup untuk melupakan makanan yang begitu nikmat. Bahkan, harganya sekalipun begitu bersahabat untuk dirinya yang sering terserang dompet paceklik.
Entah sudah beberapa lama menunggu, wajah bulat bagaikan bulan purnama itu terlihat bosan. Dia tidak bisa menggunakan ponselnya yang kehabisan baterai karena menonton drama korea sampai tertidur tadi. Alhasil, dia tidak sempat mengisi daya ponselnya. Power bank pun tertinggal di kampung halaman. Nasib!
Firda menatap ombak laut yang terlihat tenang lalu beralih pada bintang-bintang. Rambut cokelatnya terlihat begitu indah diterpa angin pantai yang sejuk. Sebuah bintang jatuh membuat matanya berbinar bagai anak kecil yang diberi permen.
Tolong, hentikanlah rasa canduku dari makanan ringan yang begitu sedap ini!
Dalam hati Firda memanjatkan keinginan saat bintang jatuh terlihat. Beberapa detik setelahnya, Firda langsung merogoh isi tas, mengambil makanan yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Permintaannya tidak dikabulkan.
Sudahlah, dia akan melepas candunya lain kali. Mungkin setelah tiba di desa nanti, dengan syarat tidak ada yang menjual makanan ini. Semoga saja.
Dimakannya makanan pedas itu dengan lahap, hingga sebuah bus berhenti tepat di depannya. Susah payah Firda masuk ke dalam bus yang terlihat cukup lengang. Koper yang dia bawa tidak terlalu berat, tetapi tangannya sedikit kesusahan saat harus berpegangan pada pintu bus, sementara satunya lagi memegang koper. Tentu saja dia gunakan mulutnya untuk menggigit bungkus makanan. Masa bodoh apa kata orang tentang dirinya.
Firda duduk di salah satu kursi penumpang dekat jendela. Sekali lagi, dia menatap bulan sabit di langit yang terlihat indah. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan. Benar, dia belum bisa menghilangkan candunya. Sudahlah, ini terakhir dia memakan makanan ini. Mungkin.