"Jujur, awalnya lo emang beneran gak tau gue?" Tanya Widi malam itu.
Setelah makan malam yang sederhana buatan Aril. Kini mereka berdua berbaring santai di teras belakang. Tempat seperti ranjang kayu untuk tempat tiduran. Aril yang bersandar di dinding dan Widi yang hanya menggunakan kimono handuk bersandar pada Aril. Selimut putih tebal menyelimuti separuh badan mereka.
"Aku tahu." Jawab Aril santai sambil mengelus elus lengan Widi.
"Trus, nggak kaget?"
"Biasa aja."Widi menolehkan wajahnya kesamping melihat pria itu. Seolah kurang senang dengan jawabannya.
"Emang kamu mau mengharapkan reaksi seperti apa dariku?" Tanya Aril lagi.
"Ya setidaknya kan gue artis. Lu salting kek atau apa."'cup'
Sebuah ciuman mendarat di bibir Widi.
"Artis dan pemuda biasa. Jurang pemisah kita terlalu lebar. Aku tak ingin membuat jurang. Kamu wanita dan aku pria. Hanya itu." Aril menatap mata Widi dalam.
Mereka hening sejenak hanyut dalam pikiran masing-masing. Bohong! Jika Aril tak merasa kaget akan kehadiran Widi malam itu. Ia mengagumi Widi bagai mahakarya Tuhan yang indah. Baginya yang seorang pelukis, sosok wanita seperti Widi adalah perempuan paripurna. Setiap inchi tubuhnya seperti pahatan yang sangat detail. Mungkin Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya.
Ditambah malam itu juga Aril dapat melihat secara utuh tubuh polos Widi. Bahkan juga merasakannya. Betapa kekaguman itu telah sampai masuk ke relung hatinya yang terdalam. Apakah kekaguman itu telah berubah bentuk ketika sampai di sana. Ia pun masih menerka perasaannya.
"Kamu... Perempuan terindah yang pernah aku lihat." Kata itu meluncur dari mulut Arli dalam lamunannya. Aril merasa tak yakin apa yang dikatakannya. Tapi persetan kalimat itu sudah keluar.
Widi yang mendengar itu berbalik menyamping. Kini ia yang memeluk pinggang Aril. Kembali ia melihat mata setajam elang itu.
"Matamu, cup, hidungmu, pipimu, dan..." Aril berpindah ke bibir Widi yang sedikit bergelombang. Disana bukan hanya sekedar kecupan. Tapi ia mengulumnya sedikit.
"Bibirmu. Semuanya sangat indah." Aril melanjutkan.
"Gue baru tahu kalo lo pintar ngegombal. Apa perempuan itu juga lo bilang sangat indah?"
"Dara?"
"....." Widi hanya diam menanti jawaban Aril.
"Hmmm, aku dan dia hanya hubungan yang saling mengisi." Aril tak tahu harus dari mana menjelaskan perihal hubungannya dengan Dara.
Penjelasan Aril yang menggantung membuat Widi semakin penasaran. Saling mengisi? Seperti apa hubungan mereka?
Aril memindahkan Widi ke posisi awal mereka. Aril mendekap perempuan itu.
"Aku dan Dara, berteman saat SMA. Ya, hanya sebatas teman, tidak lebih. Setelah lulus aku melanjutkan studi di Jakarta. Dan kami lost contact. Aku tak tahu yang dialaminya dalam periode itu. Sampai pertemuan kembali setahun yang lalu. Dan dia mengatakan kalau dia sudah janda. Tapi belum memiliki anak."
Aril kembali hening, mencoba kembali menyusun kalimat-kalimat difikirannya.
"Dan belakangan ini kami baru mengetahui setelah memaksanya konsul ke psikiater. Kalau dia mengidap."
Aril coba menguatkan hatinya untuk berterus terang perihal Dara. Dan Widi tak sabar mendengar kelanjutannya.
"Hypersexuality disorder."
"Ha!" Widi terkejut
"Dia hypersex? Bagus dong, biar lo puas!" Ada kecemburuan, perih dalam hati Widi. Jika menerka kemana arah cerita ini.
"Lebih dari itu. Jika hypersex biasa. Dia tak perlu pergi ke psikiater. Tapi ini sudah akut. Kecanduan yang telah mempengaruhi kejiwaan. Jika ia tidak dapat kepuasan dari lawan jenis dalam satu hari. Ia menjadi sakau seperti orang kecanduan drugs."
Kini Widi yang bergidik ngeri membayangkan penderitaan Dara.
"Setelah beberapa kali ke psikiater, syukurlah kecanduaannya bisa berkurang. Tapi hasrat yang menggebu itu kadang sesekali muncul."
"Dan lo yang muasinnya?!"
"......."
Aril hanya diam tak ada jawaban darinya. Toh, tidak ia jawabpun. Widi sudah tahu jawabannya.
Bunyi binatang malam dipadu dengan sayup-sayup suara air terjun mengalun indah. Mengiringi sepasang insan yang kembali hanyut dalam fikirannya. Tangan Aril yang tadinya mengelus kulit halus pada lengan Widi kini ibu jarinya seperti mengetuk-ngetuk pada lengan itu.
Ia ingin bertanya, tapi ia merasa tak ada haknya untuk bertanya. Terlebih perihal hubungan mereka yang ntah seperti apa-apa. Widi seakan paham kegalauan Aril.
"Dia bukan kekasihku." Widi berkata sendiri. Disambut keheranan dari Aril.
"Itu hanyalah settingan untuk menaikkan publikasi film kami yang bulan lalu launching."
Aril paham hal ini memang sering terjadi dalam kalangan artis. Ada kelegaan dalam hatinya. Angin malam yang berhembus sepoi merasuk kedalam kulit Widi. Hasrat liarnya kembali muncul. Ia berbalik menghadap Aril. Ia memandang lekat pemuda itu. Aril memeluk pinggang ramping Widi.
"Gue gak tahu hubungan seperti apa yang kita jalani. Apa setelah ini kita gak kan lagi bertemu. Gue gak tahu. Yang jelas, gue hanya ingin menikmati ini."
Dari ciuman yang lembut berubah menjadi sedikit liar. Bergantian mereka saling mencium dan menjilat bibir dan leher. Widi yang hanya menggunakan kimono mudah saja untuk Aril melucutinya.
Payudara Widi yang sekal menjadi tujuan mulutnya. Widi hanya bisa menengadah menerima serangan dari puncak payudaranya. Tangannya hanya bisa meremas rambut Aril.
"Ssshhh, bangsatthh!" Widi meracau geram keenakan. Ia tak ingin Aril yang selalu mendominasi dirinya.
Tubuhnya beringsut turun. Dengan cepat ia meloloskan celana pendek Aril. Mengacunglah senjata pamungkas pemuda itu. Mendongak keatas dengan pongah. Widi baru melihat dengan jelas milik Aril. Ternyata cukup besar. Ia menjilati ujungnya. Kaki Aril menegang merasakan sensasi lidah Widi dimiliknya.
"Arrrggghhhh." Aril mengeram nikmat.
"Slurrppp slurrppp!" Kepala Widi turun naik pada milik Aril. Sesekali tangannya membantu mengocok milik Aril yang tak bisa masuk sepenuhnya ke mulut perempuan itu.
"Aku sudah tidak tahan." Widi kembali mengubah posisinya.
Dengan membelakangi Aril ia menunggangi pemuda itu. Tangan halusnya menuntun milik Aril dalam lembah miliknya.
"Ohhhh." Ia mengerang nikmat ketika benda itu sudah masuk sepenuhnya.
Diawali gerakan lambat lalu berubah menjadi tempo cepat tak beraturan. Widi dengan liar menunggangi Aril.
"Ahhhh, arrggghh, ahhhh."
Sahutan bergantian erangan dan geraman menggema dari ruangan belakang itu. Berganti posisi dan gaya bercinta sudah berapa kali sepasang insan mabuk asmara itu.
"Aahhh tiddhhaakk, appha innhii akku ingin muncratt." Widi tak bisa menahannya lagi. Jemarinya meremas kain putih yang menjadi alas mereka.
"Akku juga."
Aril menaikkan tempo kecepatannya memompa Widi yang menggelinjang di bawahnya.
"Aahhhh, aaaarggghh."
Aril menyemprotkan cairannya di dalam milik Widi bersamaan dengan cairan Widi yang menyembu diantara paha mereka yang beradu. Penyatuan cairan itu membekas dikain putih itu. Nafas mereka terengah setelah melalui pertempuran yang luar biasa.
Di tempat lain disebuah rumah kontrakan minimalis. Seorang perempuan tanpa sehelai benang pun telentang dengan kaki mengangkan. Tubuh nya melenting keatas. Mulutnya ternganga. Di selangkangannya ntah berapa kali cairan menyembur dari lembah bersih tanpa sahelai bulu itu. Ditangannya masih tergenggam mainan karet berwarna merah yang menyerupai penis pria. Perempuan itu Dara juga mencapai puncak kenikmatannya. Meski hanya dengan penis mainan itu.****
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA CINTA MENGGODA (END)
RomanceSejak jumpa kita pertama, kulangsung jatuh cinta Walau kutahu kau ada pemiliknya Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini. . . . *** Cerita hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh. Bukan bermaksud...