•
•
Hiruk pikuk memenuhi bar yang padat dipenuhi orang-orang kapitalis berdarah dingin itu. Orang-orang dari kaum borjuis yang selalu datang setiap malam ke bar untuk menghabiskan uang mereka dengan gemerlapnya dunia. Malam ini cukup ramai tak seperti biasa, gelak tawa pria berpawakan gemuk dengan kerah baju dan dasi yang sudah berantakan membuat semua orang mendekatinya. Pria dengan lemak diperutnya itu berteriak gembira dengan seorang jalang disisi kanan dan kirinya. Tangannya mengangkat gelas berisi bir miliknya.
Teriakan suaranya yang cukup keras seakan bisa memecahkan lapisan es tipis saat musim dingin. Suara bulatnya mengema dan mengisi ruangan itu. Membuat semua orang mengalihkan atensi mereka padanya. Ia bersorak atas kemenangannya dalam kampanye pemilu. Sambutan serta senyuman hangat diberikan semua orang, kepada sang calon tikus negara. Tawanya tak henti-henti karena rasa senang bisa menjadi seorang pejabat lagi tahun ini.
Hari ini adalah kesempatan yang bagus untuk para wanita berlipstik merah,— dengan pakaian seksi-nya untuk menarik perhatian para tamu yang datang malam ini. Mereka semua berpesta, layaknya seekor anjing gila.
Ditengah ramainya pesta, ada satu lagi pria tampan yang duduk bersembunyi dan menjauh dari kerumunan banyak orang. Ia hanya menjadi penikmat malam ini, manik matanya hanya melihat gerak-gerik yang dilakukan setiap orang,— sembari menyulut habis rokoknya di sudut ruangan. Sedikit mejauh dari keramaian. Pria itu memandang sang senator baru, seakan merasakan sensasi jijik terhadap orang-orang yang berupaya berebut menyalami pria gemuk yang menang dalam pemilu itu. Bahkan ia masih bisa tertawa dan tak merasa kasihan terhadap sekelompok orang pribumi yang bertelanjang kaki,—kakinya nyaris tak mampu menahan panasnya permukaan aspal di siang hari. Dan orang-orang malang, yang selalu menahan dinginya hawa malam sembari mengigil kelaparan. Dan tikus itu, kini menjabat lagi tahun ini. Begitulah dunia yang kejam ini, selalu diselimuti oleh ketidakadilan.
Nyatanya mata perempuan-perempuan penggoda itu jeli juga. Bisa menemukan mangsanya dengan berbagai radar yang mereka gunakan. Tapi sayangnya taktik mereka tak mempan. Mereka hanya mendapat senyuman kecut dari bibir lelaki berhidung bangir, yang duduk di sudut ruangan. Membuat seorang pria manis pengantar minuman itu terkekeh di dalam hatinya. "Dasar jalang murahan" gumannya pelan.
Ia berfikir sebenarnya cukup mengelikan melihat bagaimana cara perempuan itu memaksa para tamu untuk terus menyentuhnya, bahkan memaksa tamu itu dan membiarkan menyentuh payudaranya. Ia terkikik ketika pria tampan disudut ruangan itu tak mengubrisnya sama sekali. Tunggu, kenapa ia tertawa? Bukankah kisahnya sama saja? Jika ia menertawakan wanita itu,—sebenarnya itu akan sama saja dia menertawakan dirinya sendiri. Bodoh. Seharusnya dia juga melakukan hal yang serupa, menggoda para tamu itu agar mendapat uang tip tambahan untuk malam ini.
Pria manis itu kemudian menunduk melihat pakaian yang ia kenakan sekarang. Apa yang ia harapkan untuk menggoda para tamu yang datang,— jika pakaian yang ia kenakan saja sekarang kurang menarik perhatian. Ia mengunakan kemeja murahan, bermotif garis yang ia beli di pasar loak baju-baju bekas. Bibirnya tersenyum kecut melihat dirinya sendiri yang begitu malang. Ia kurang percaya diri pada tampilannya malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Ephemeral • ᴠʜᴏᴘᴇ ✔️
Ficción históricaTakdir mempertemukan mereka karena luka lama. Tahun-tahun demokrasi yang begitu menyesakkan semuanya. Sebuah kehancuran karena pemerintahan yang selalu mencekik pribumi dengan kekuasaannya. Era 80'an dimana kesenjangan dan birokrasi politik begitu p...