Nona Papasan dan Tuan Penguntit

27 3 0
                                    

"Enek itu ungkapan manis yang tertunda."

•Abian Pramudya•

🍁🍁🍁

"Tante!!" terdengar teriakan gadis kecil diiringi gedoran pintu.

"Tante ... buka pintunya!"

"Alisha jangan teriak-teriak!" titah Areta dari arah dapur.

"Tante ngunciin pintunya, Bunda."

"Tantemu mungkin lagi mandi."

"Tapi kenapa harus dikunci?" rengek Alisa masih diluar kamar, saat tidak lagi mendengar jawaban dari bundanya dia mencoba meraih knop pintu dengan sedikit menjinjit. Saat dirasa usahanya sia-sia gadis kecil itu berjongkok dengan dongkol memajukan kedua bibirnya.

'Klek'

Pintu terbuka dari dalam memunculkan Haura yang masih dengan handuk di lehernya.

"Loh, Alisa? ngapain disini?" Haura sama sekali tidak mendengar gedoran dan teriakan yang dari tadi dilakukan gadis kecil di depannya. Suaranya dikalahkan oleh bunyi shower di kamar mandi, tidak hanya bunyi shower Haura juga bersenandung ria di dalam kamar mandi yang menjadi kebiasannya, itu akibatnya dia sama sekali tidak mendengar apapun dari arah luar kamar.

Tanpa dosa dan berwajah polos Alisa nyengir memperlihatkan pupil eye nya. "Es krim, tante nggak lupa pesanan Alisa, kan?"

"Aduh! lupa," jawab Haura pura-pura menepuk jidatnya, dengan mata yang mengintip di sela-sela jarinya, Haura melihat Alisa menghela napas panjang.

"Yahh... padahal aku nungguin." Dengan lesu Alisha berbalik ingin beranjak dari posisinya berdiri, namun tawa renyah yang keluar dari bibir Haura menghentikannya.

"Ihh... tante bohong, pasti es krimnya diumpetin di kolong kasur." Gadis kecil itu menyerobot masuk dan segera tengkurap untuk bisa mengintip yang ia kira es krimnya diumpetin di sana.

Haura masih dengan tawanya, tanpa merasa bersalah ia mengatakan, "Es krimnya ngga ada Alisha, kakak belum beli."

Alisha yang tengkurap berdiri memanyunkan bibirnya, duduk di sisi ranjang sambil merajuk, "Pokoknya Alisha mau es krim, gak mau tau." Bersidekap memalingkan wajah dari tatapan Haura.

"Oke, panggil kakak dulu jangan tante, bagaimana?" Haura menaik turunkan alisnya.

Alisha berbalik yang semula memalingkan wajah tersenyum sumringah, tak peduli ia harus memanggil kakak atau apapun itu yang penting es krim sudah di depan mata. Dengan wajah polos anak itu mengangguk dengan tiba-tiba naik ke atas ranjang dan meraih kepala Haura untuk dipeluk dan diciumnya. Haura yang tidak siap dengan tarikannya membuat ia terhuyung ke atas ranjang berguling-guling dengan Alisha yang masih memeluk lehernya.

Gelak tawa saling mereka lontarkan, Haura sangat menyayangi Alisha meski terkadang membuat dirinya ingin menenggelamkan anak kecil itu. Ketakutannya oleh sesuatu hal sedikit bisa dikendalikan dengan lahirnya Alisha di tengah-tengah keluarga. Tidak ada yang memaksanya untuk selalu mengingat kejadian beberapa tahun silam, pun tidak ada yang memaksanya untuk mengalami hal demikian. Kini Haura menjadi sangat bersyukur ketika ketakutannya tidak lagi datang, ingin rasanya dirinya terus membahagiakan orang sekitar salah satunya Alisha.

Haura bangkit setelah tertawa terlalu lama rasanya tulang pipinya menjadi kram. "Ayo, kita beli es krim," ujarnya mengulurkan tangan dan disambut oleh Alisha yang masih duduk.

Saat Alisha diturunkan dari ranjang Haura menyuruhnya untuk menunggu di ruang tengah selagi dirinya memasang kerudung serta sweater.

***

JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang